Kisah Cinta. Gambar : Istimewa |
“Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpah di
hadapan-Mu. Lakal Hamdu Ya Rabb. Telah engkau muliakan hamba dengan alquran.
Kau kuatkan diri hamba dengan cahaya alquran. Kalaulah bukan kerana karunia-Mu
yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosoki dalam jurang kenistaan. Ya
Rabbi, curahkan tambahan kesabaran pada diri hamba.
Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang
mengetuk pintu-Mu. Allah tujuh bulan sudah hamba-Mu yang lemah ini hamil penuh
derita dan kepayaan. Namun kenapa tega suami hamba, ia tak mempedulikan hamba
padanya. Masih kurang baktiku pandanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang
kurang ilhamkanlah pada hamba-Mu yang dhaif ini cara berahklak yang lebih mulia
lagi pada suamiku.
Ya Allah, dengan rahmat-Mu hamba menahan jangan engkau
murkai dia karena kelalaianya. Cukup hamba saja yang menderita. Biarkanlah hamba saja yang
menanggung nestapa. Jangan engkau murkai dia, dia adalah ayah dari janin yang
hamba kandung ini. Jangan engkau murkai dia, dengan cinta hamba telah memaafkan
dengan segala khilafnya, hamba tetap menyayanginya, ya Allah berilah kekuatan
untuk setia berbakti dan memulainya karena-Mu. Ya sampaikanlah rasa cinta ini
kepadanya karena-mu. Ya,
sampaikanlah rasa cinta hamba ini padanya dengan cara-Mu yang paling bijaksana.
Tegurlah dia dengan teguran rahmat-Mu. Ya Allah, dengarkanlah do’a hamba-Mu ini.
Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau. Mahasuci Engkau ya Allah,
sungguh hamba mengakui hamba termasuk golongan orang-orang zhalim. Amiin”
(Habiburrahman El Sirrazi, Pudarnya Pesona Kleopatra,2003 : 46-47)
Kutipan surat Raihana, dalam
novel karya Habiburahman El Shirazy tersebut, setidaknya, menarik untuk
memahami prespektif cinta manusia kontemporer
yang berbekal Alqur’an
dan selalu melibatkan sang pencipta dalam setiap urusannya.
Setiap
hari kita menyaksikan suguhan kisah percintaan kaulah mudah begitu banyak
kita temui, mewarnai catatan panjang instansi-instansi di negeri ini. Ada pulah
yang berahir di tangan
sastrawan, yang diulas dalam sebuah novel kisah cinta yang tragis.
Beragam
kejadian, sering kita mendengar kasus-kasus kaulah muda yang putus cinta, cinta
bertepuk sebelah tangan yang
burujung pada kematian.
Ada pula yang berahir di meja hijau (perceraian) karena ketidak cocokan. Perselingkuhan dengan alasan pasangan sudah tidak memuaskan. Atau aksi bunuh diri dua sejoli, seperti kisah romeo dan Juliet karena cinta mereka yang tak direstui.
Ada pula yang berahir di meja hijau (perceraian) karena ketidak cocokan. Perselingkuhan dengan alasan pasangan sudah tidak memuaskan. Atau aksi bunuh diri dua sejoli, seperti kisah romeo dan Juliet karena cinta mereka yang tak direstui.
Ternyata
semua dilakukan atas dua modus,“cinta dan kebahagiaan”. Seperti menunjukan tidak ada alasan seseorang
untuk hidup berlama-lama selain karena cinta. Dan tidak ada alasan seseorang
untuk bahagia selain
karena cinta.
Tak jarang cinta dan kebahagian ditepatkan pada posisi yang salah. Mereka mengejar sesuatu yang dianggap sangat berarti bagi kehidupanya dengan mempertaruhkan kehidupan itu sendiri. Seperti kasus yang menimpa Gede Arya pada 2017 lalu, wanita berusia 22 tahun yang diduga bunuh diri karena putus cinta dengan meninggalkan sepucuk surat wasiat untuk keluarga dan mantan pacarnya.
Ya, Cinta yang melampaui kehidupan. Mereka yang beranggapan tidak ada pengorbanan untuk mengukur cinta selain dengan kematian.
Tak jarang cinta dan kebahagian ditepatkan pada posisi yang salah. Mereka mengejar sesuatu yang dianggap sangat berarti bagi kehidupanya dengan mempertaruhkan kehidupan itu sendiri. Seperti kasus yang menimpa Gede Arya pada 2017 lalu, wanita berusia 22 tahun yang diduga bunuh diri karena putus cinta dengan meninggalkan sepucuk surat wasiat untuk keluarga dan mantan pacarnya.
Ya, Cinta yang melampaui kehidupan. Mereka yang beranggapan tidak ada pengorbanan untuk mengukur cinta selain dengan kematian.
Kita juga sering mendengar kabar ada pasangan suami istri bercerai. Konon katanya karena sudah tidak ada kecocokan di antara keduanya. Pada posisi ini, jika wujud cinta adalah memberi, seharusnya kita tidak akan saling menuntut untuk memintanya kembali. Kita mengucap cinta bukan untuk jualan, melainkan kesungguhan untuk bersama dan saling melengkapi.
Cinta juga bukan karena kecocokan tapi cinta adalah kemauan untuk saling mencocokan. Jika setiap pasangan seperti itu, saling menerimah kekurangan pasangannya dan mahu untuk saling membenahi, maka kebahagiaan akan selalu ada diantara keduanya.
Menurut salah seorang tokoh mazham kritis (Ardorno), hal ini didasari fenomena hilangnya ketakutan terkait dengan diusirnya misteri dari kehidupan manusia. Dan bahasa itu disambut oleh Horkheimer dalam karnyaya, Eclipse of Reason, bahwa rasio manusia modern telah kehilangan “isi”.
Dari kalimat dua tokoh penulis itu kita bisa bercermin, rasio manusia telah menjauhkannya dengan Tuhan hingga kebahagian diukur dari materi yang ia peroleh. Kebahagian diukur dari kemelokan kekasih yang ia persunting. Padahal, istri yang cantik tapi berperangan buruk adalah saksian yang paling menyakitkan bagi seorang suami, begitu juga sebaliknya.
Lantas bagaimanakah cinta? Sepucuk surat Raihana tentu tak seperti surat wasiat yang ditinggalkan Gede. Raihana telah terlebih dahulu selesai dengan dirinya sendiri. Sementara Gede, ia harus mengakhiri hidupnya agar dirinya benar-benar selesai. Ternyata dalam segala hal kita harus lebih dahulu selesai dengan diri sendiri, begitu juga dengan cinta.
Surat Raihana adalah sajian yang begitu indah dan segar membasahi dahaga yang telah lama kekeringan akan suguhan kasi sayang. Sungguh, kisahnya telah memperlihatkan betapa bahagia orang yang telah menemukan cinta dan rindu sejati. Ibarat tasbih dan benang pengikatnya. Terjaud menjadi untaian kata yang akan selalu disentuh satu demi satu oleh insan mulia yang bibirnya basah akan cinta kepada Rabbnya.
Cinta, memang adalah kata yang begitu
misterius. Sesekali, cinta bisa menjadi
penyejuk dahaga di tengah sahara. Penyemangat seseorang dalam panasnya
gelanggang kehidupan. Tetapi dalam kenyataannya, cinta juga bisa menjadi bom
waktu yang bisa melulu lantahkan masa depan bahkan kehidupan seseorang.
Di
bagian terakhir ini, ada sajian fatwa dari Majelis Jomblo yang mungkin bisa
menjadi pengingat, agar hendak tak gegabah dalam mengambil keputusan, apa lagi
sampai mengakhiri hidup seperti Gede Arya, si gadis cantik yang malang.
Begini
kata si Papa Muda, Suhardiyanto memfatwakan “Menikahi seseorang yang kita
cintai adalah cita-cita. Mencintai seseorang yang kita nikahi adalah ibadah”.
Perkarah
cinta, suda sedari duluh telah meronai dunia. Tak semata melalui pelangi yang
indah, tapi juga gemuru yang berawan yang memekik sukma. Sipapun kamu, pasti
pernah merasakannya. Baik muda atau tua rentah. Pasutri maupun jomlo sejatih.
Semua memiliki kisah yang berbeda, tapi percayalah Tuhan punya rencana yang
indah untuk hambaNya, termasuk cinta.
Hiduplah lebih lama dan temukan cintah sejatiMu!
Hiduplah lebih lama dan temukan cintah sejatiMu!
24 Februari 2019
0 Response to "Cinta, Antara Cita-cita dan Ibadah"
Post a Comment