Interupsi Seorang Pejabat

Ilustrasi. Foto : Istimewa

Di sebuah pertemuan tertutup, seorang pejabat menggugatku dengan nada sangat keras dan geram.

Karena mendadak, saya sangat panik dan resara ditimpa rasa bersalah yang mendalam.

"Jangan hanya karena kalian yang hanya berjumlah berapa orang lantas mengorbankan kehidupan banyak orang. Saya tidak main-main kalau pembangunan yang suda saya rencanakan itu sampai tidak jadi, maka saya akan batalkan pula semua program pembangunan di daerah itu,"

Saya yang memang seorang penakut jadi berkeringat dingin.

"Andai apa yang anda tolak itu sampai terjadih, jangan salahkan saya kalau masyarakat di daerah itu nanti makan debu karena jalan tidak akan saya aspal."

Yang terlintas dalam benak saya saat itu, bagaimana jika hal itu terjadi? Bagaimana kalau ini bukan hanya ancaman kosong untuk memenuhi keinginan pejabat itu. Apa lagi ini menyangkut ratusan masyarakat dan masa depan daerah itu, tidak hanya tertinggal tapi juga terisolir.

Saya benar-benar merasa ambruk. Hatiku remuk redam. Aku berteriak-teriak, memekik-mekik dalam hati, sampai telingaku kaget sendiri, kadang terbangun mendadak. Ini benar-benar keadaan yang memberatkan, apa lagi dalam keadaan yang terpojokan seperti ini. Keadaan yang sama sekali tak menguntungkan bagiku.

Pejabat itu juga menghujaniku dengan pertanyaan dan pernyataan kolot. Memojakanku seperti seorang penjual suara yang sedang kelaparan.

"Ini gerakan tidak terlepas dari kepentingan politik seseorang, gerakan titipan untuk menjatuhkan saya. Kau lapar kha? Kalau kau lapar datang di rumah, nanti saya kasi makan! Atau kau butuh uang?"

Aku yang awalnya hanya diam, begitu terkejut mendengar lontaran kalimat dari pejabat itu. Aku berusaha membela, tak terimah tuduhan dan penyandingannya terhadap aku dengan materi.

Pembelaan dan penjelasan itu seperti tak mendapat tempat di relung hati mereka. Mereka tak mau ingin tau, memotong semua ucapanku, tak ada penghargaan bagi mereka.

Aku mencoba menahan diri, bermaksut menghindari ucapan dan gerakan tubuh yang terkesan tidak menghargai pejabat itu. Namun, sebagai manusia biasa amarah itu akhirnya tumpa ruah, aku luapkan semua apa yang ingin ku katakan, amarah itu akhirnya keluar bersamaan dengan tetesan air mata. Ah, betapa cengeng dan konyolnya aku.

Ingin sekali aku mengajak, menyuruh orang-orang disekelilingku saat itu untuk membelaku, menyatakan sikap kalau mereka dipihakku, setuju denganKu. Apa daya, mereka adalah orang-orang yang berada dalam birokrasi, sepakat dengan aku pun, mereka tak mungkin berani menyatakannya.

Sesekali pejabat itu mengeras, sesekali juga melamah. Intonasi suara itu terus bergantian memenuhj langi-langit ruangan itu. Kadang juga sesekali menegas, mungkin bermaksut mengancam, "Kalau kau tetap turun kejalan, nanti kita lihat saja besok, siapa yang punya masa lebih banyak. Apa kah kau atau saya."

Saya kebingungan, bukan takut dengan masa tandingan itu. Tapi pikiranku dipenuhi pertanyaan, bagaimana mungkin pejabat yang ada di hadapanku ini bersikeras, enggan untuk mendengar dan mengambil saran orang lain.

Dipertemuan itu, aku tidak mengiyakan apa yang dipintahnya. Sesekali saya mencoba untuk menjelaskan maksut penolakan kami bersama teman-teman sepemikiranku (saat itu hanyala aku sendiri)  akan pembangunan itu. Namun, tetap saja sama, pejabat itu begitu percaya diri dan mengeras. Hingga akhirnya aku terdiam bagaikan anak yang tak tau soal moral.

Kurang lebih tiga jam berada di dalam ruangan ber Ac nan mewa itu, hingga akhirnya aku dan beberapa orang lainnya yang sejabat dengan aku diperkenankan untuk keluar.

Mengingat-ngingat kejadian itu, terkadang saya cengengesan sendiri, betapa konyolnya saya dihadapan pejabat itu. Kenapa pula aku mesti meneteskan air mata? Padahal aku bisa saja lebih nakal dihadapan pejabat itu, mengutuk, ataupun mengatainya bodoh tak paham aturan. Apa lagi lokasi dikehendakinya untuk membangun tempat itu tak satupun aturan mengamininya.

Keesokanya, aksi demonstrasi itu tetap jalan. Benar pejabat itu, ia membuktikan ucapannya dengan memboyong banyak perangkat keras yang membuat aku dan teman-teman peserta aksi gelagapan menghadapi hadangan tangan-tangan besi itu.

Lebih ironisnya, masyarakat juga turut dihadirkan, rencananya untuk menghalau massa aksi. Tidak kah pejabat itu memiliki nurani, diantara mereka suda tua dan rentah harus berpeluh di bawa terik matahari yang begitu menyengat.

Kehadiran mereka adalah buah dari ketakutan, kehawatiran yang sengaja diciptakan oleh pejabat itu bersama kroni-kroninya.

Mungkin ini pula yang dimaksut Emha Ainun. Penjajahan, dalam bukunya Anak Asuh Bernama Indonesia. Jika dulu bentuk penjajahan dilakukan secara terang-terangan, kemudian penjajahan yang disamarkan, dan sekarang penjajahan wujudnya sama sekali bukan penjajahan. Akibatnya, yang dijajah justru merasa dijunjung dan disantuni. Hal demikian bisa berlangsung, kata Emha Ainun Nadjib karena cara utama penjajahn mutakhir adalah tipu daya melalui pendidikan, hukum, budaya dan kepalsuan-kepalsuan politik.

Dimana metode dan strategi paling mendasar dari penjajahan berwujud santunan dan kasih sayang adalah pola berpikir yang disembunyikan oleh para penjajah. Pola ini, Emha Ainun Nadjid menyebutnya sebagai pola dajalisme, yakni tipu daya atas cara berpikir manusia. "Neraka diyakinkan sebagai surga, dan surga diyakinkan sebagai neraka."

Kini dominasi keajaiban dan lupa, serta hampir sirnanya logika dan kesadaran, suda membuat masyarakat tidak bisa membedakan lagi mana yang hak dan kewajiban. Mereka tidak bisa membedakan mana atas mana bawah, mana kiri mana kanan, mana yang baik mana yang buruk, mana benar mana salah, mana mulia mana hina, mana malu mana bangga.

Perbedaan antara Tuhan, Gatot Kaca, Imam Mahdi, Ratu Adil, Preman, Boneka dan Robot bahkan suda samar-samar. Secara akal pikiran maupun kejiwaan, seorang perampok suda direlakan untuk dilantik sebagai nabi. Seorang badut dilantik sebagai rasul. Seorang penghianat dinobatkan sebagai dewa. Seorang maling dijunjung sebagai raja.

0 Response to "Interupsi Seorang Pejabat"

Post a Comment