Nelayan Desa Batubanawa. Foto : Amrin Lamena |
Sejak siang saya menghubungi teman di salah satu desa penghasil kepting rajungan. Saat itu, saya menanyakan kepada teman itu, kira-kira ada nelayan disana yang berkenan untuk memberi saya tumpangan dan menemaninya melaut, melihat-lihat proses pemasangan bubu rajungan. Dari balik hendpon, teman itu mengisyaratkan agar saya turun lebih awal, selesai sholat Ashar kata teman itu, sebelum waktu para nelayan turun melaut.
"Iya turun saja selesai Ashar nanti saya coba sampaikan," kata teman itu menyambut permintaan saya.
Mendengar itu, saya bergegas, tak sabaran lagi untuk sampai di desa itu. Jujur saja, sekalipun Desa itu masi satu kecamatan dengan kampung saya, belum sekalipun saya menyaksikan bagaimana nelayan-nelayan di desa itu menempatkan bubu mereka dispot yang menjadi target.
Dari Baubau, saya langsung menuju pelabuhan ferry penyeberangan Baubau-Wamengkoli. Terik matahari siang itu tak saya hiraukan lagi. Sesampai di sebrang-pelabuhan penyebrangan Wamengkoli, motor saya pacu dengan kecepatan tinggi, syukur jalan suda agak lebih mulus. Sekitar 40 menit memacu si blue, motor yang saat ini setia menamani perjalanan saya. Setiba di desa itu, ternayata suda ada nelayan yang menunggu kedatangan saya disana.
Sore itu laut lagi surut, garis pantai terlihat memanjang beberapa meter dari biasanya. Saya lekas mengganti pakayan, peralatan suda siap, tak perlu untuk menunggu lama dan segera berangkat dan menghidupkan mesin katinting dengan kekuatan 10 gt.
Cuaca sore itu kurang bersahabat, sedikit mendung dan berombak, sekalipun begitu, di ufuk barat, matahari sesekali menampakan wajahnya yang berkilau ke emasan, cahayanya menari-nari mengikuti irama ayunan ombak di sore itu.
Nelayan Kepiting Rajungan. Foto : Amrin Lamena |
Sekitar 10 menit perjalanan, mesin katinting dimatikan. Spot yang dituju untuk meletakan bubu yang berjumlah cukup banyak itu mulai di pisangkan umpan dan dilemparkan satu persatu kelauat. Selama proses pemasangan bubu ini, katinting yang kita tumpangi digerakan dengan dayung, cukup menguras tenaga, jarak yang ditempu pun untuk meletakan bubu ini satu persatu sampai selesai harus menempu jarak kurang lebih stengah kilo meter, belum lagi jarak antar bubu ini harus diletakan secara tepat, jika tidak, bubu itu akan terbalik dan suda pasti kepiting yang diharapkan tidak bisa masuk dalam perangkap.
Dibalik aktivitas sore itu, ada narasi-narasi kecil yang dilontarkan si bapak nelayan itu yang membuat saya terperangah, memukul-memukul hati saya, serasa hingga menembus tulak sumsum belakang saya.
Suda separuh bubu itu terpasang, dari arah depan katinting teman saya tadi yang juga ikut dengan kami, mengawali percakapan. Teman itu bercerita soal pengalamannya ketika melaut dan menjadi alasannya sampai harus memilih untuk merantau dan melanjutkan studi di kampung orang.
Dari balik kemudi ketinting itu, saya hanya memperhatikan aktivitas mereka dan sesekali mengabadikannya. Teman ini juga menannyai si bapak, apa tidak kesusahan ketika cuaca tak lagi bersahabat, berombak seperti saat ini. Dengan nada tersentak dan agak sedikit dibesarkan karena berpacu dengan deburan ombak yang mengenai badan bodi fiber yang kami tumpangi, bapak itu menjawab dengan sederhana.
"Ya, sudah beginilah de nasip nelayan. Kalau masi memungkinkan untuk turun melaut sekalipun berombak kita harus turun," kata nelayan itu sembari terus melanjutkan mengatur dan melemparkan bubunya diatas permukaan laut.
Sore itu aktivitas bapak itu cukup santai, tak seperti biasannya. Keberadaan kami untuk meneminya melaut nampaknya cukup meringankan bebannya, belum lagi, kata bapak itu, sore ini segala aktivatasnya diatas perahu bodi ini diselumuti cerita dan tawa, dan tak mesti lagi sembari mendayung dan mengatur bubu yang biasannya peran itu dilakoninya dalam satu kaligus. Teman saya itu yang mendayung, sementara saya dibelakang perahu bodi itu hanya berperan sebagai teman cerita mereka.
Sore itu juga, bapak ini suda bercerita banyak soal keseharian mereka di laut dan apa yang sering tak kita ketahui tentang mereka. Bagi nelayan yang kurang modal seperti bapak ini, harus menjual hasil tangkapannya ke tengkulak dengan sistem ijon.
Aktivitas Nelayan Desa Batubanawa. Foto : Amrin Lamena |
Ijon ini merupakam sistem yang biasa digunakan oleh nelayan untuk mencari modal dengan cara mengutang kepada para tengkulak. Mereka akan membayar dengan menjual hasil tangkapannya itu kepada tengkulak. Posisi seperti ini, kata si bapak, sering kali menjepit mereka, ketika harga kepiting turun, mereka tak punya pilihan untuk menjual hasil tangkapan pada konsumen lain dengan harga yang lebih tinggi. Apapun yang terjadi, selagi tali pengikat antara keduannya belum terputus, nelayan-nelayan ini harus mengikut dengan harga yang diberikan si tengkulak.
Kehadiran tengkulak ini memang merugikan sekaligus dirindukan oleh nelayan. Mereka adalah beban bagi nelayan. Resiko tinggi tapi margin keuntungan justru paling kecil untuk nelayan itu, tapi tengkulak juga bisa menjadi dewa penolong bagi para penalayan dimasa sulit mereka, terutama bagi nelayan yang tak berkecukupan modal, seperti bapak ini.
Diatas perahu bodi yang mendayuh mengikuti irama ayunan ombak ini, bapak itu mengungkapkan mimpi-mimpinya, harapan-harapan besarnya tentang kehidupan keluarganya, pesan pada anak-anaknya dan orang dekatnya yang selama ini masi mau medengarkan keluh kesahnya tentang ombak, angin, hujan, mesin katintingnya yang kadang mogok, dan naik turunnya harga kepiting rajungan itu.
"Saya itu selalu berharap, cukup mhe saya yang merasakan ini, jangan mhe dengan anak-anak ku, sebisa mungkin saya selalu sampaikan sama mereka untuk sekolah baik-baik, agar apa yang saya rasa ini cukup dan berhenti sama saya," ucap lelaki paruh bayah yang pandai humoris itu.
Dari balik kemudi perahu fiber itu, tampak wajah bapak itu mengecut, lalu seketika pula kembali riang dan melanjutkan candaannya, berusaha menutupi segala kerisauannya. Saya kemudian tersentak, mengingat-ngingat kembali ucapan bapak saya semasa masi hidup, persis dengan apa yang disampaikan bapak ini.
Menjadi seorang nelayan memang bukan perkara muda, mereka terkadang harus dihadapkan denga resiko tinggih. Mungkin itu pulah yang membuat mereka menyimpan harapan besar pada anak-anak mereka, agar kelak mempunyai pendidikan yang baik dan menjalani hidup yang lebih baik pula.
Di atas ayunan ombak sore ini, saya menemukan narasi-narasi kecil yang selama ini tersembunyi. Dan menemukam mimpih-mimpih besar dari mereka. Dari laut, harapan itu mulai dibangun, coba dirawatnya bersama ayunan dan gemercik ombak. Berharap kelak mimpih-mimpih ini tumbuh besar, diteruskan dan diwujudkan oleh anak-anak mereka dengan kehidupan yang lebih baik, serba berkecukupan, tidak ada lagi urusan dengan tengkulak, tidak ada lagi ombak, tidak ada lagi angin yang harus menentukan penghasilan mereka.
sore ini, saya semakin yakin, sekalipun Tuhan tidak pernah menjanjikan langit itu akan selalu biru, bunga selalu mekar, dan mentari selalu bersinar. Tapi ketahuilah bahwa Dia selalu memberi pelangi disetiap badai, tawa disetiap tangis, berkah disetiap cobaan, dan jawaban dari setiap do'a. Dan saya percaya itu akan jua mereka peroleh, termasuk bapak nelayan ini.
Matahari sore itu suda tak nampak lagi, tinggal menyisahkan cahaya kemerahan yang memenuhi kolom-kolom langit, seratus lima puluh buah bubu telah selesai terpasang. Mesin katinting mulai dihidupkan, bodi fiber dipacu menuju daratan beradu dengan gulungan ombak yang mengakhiri cerita sore ini.
Buton Tengah, Minggu 7 Juli 2019
0 Response to "Dari Laut, Impian Itu Dibangun"
Post a Comment