Nelayan di Desa Inulu. Foto : Amrin Lamena |
Sebagai seorang yang berprofesi sebagai kuli tintah
yang sedikit secara penghasilan. Saya mencoba menyelemi beberapa pekerjaan lain
secara serabutan. Sesekali saya jadi fotografer amatiran, sesekali juga saya
jadi vedeografis dadakan. Padahal sebenarnya saya bukan orang cukup mahir
dibidang itu, kualitas gampar yang saya hasilkan pun tak sebegitu bagus. Jangan
bandingkan saya dengan Sahlan Kokasinta-Fotografer asal Buton Tengah yang
sering juara, apa lagi kakanda Rustam Awat. Jelas mereka berdua bukan tandingan
saya.
Untuk videografis, saya juga sebenarnya tak sebegitu
kreatif, konten-konten video yang saya
hasilkan tak cukup banyak memantik penonton, anda bisa melihatnya sendiri di
chanel youtebe saya yang memiliki subscriber yang tak lebih dari 300. Saya sebanarnya
hanya orang memiliki hobi meminjam
kamera digital teman dan mengotak atiknya.
Dari kebiasaan itu, saya mendapat kesempatan
mengambil video dan foto di beberapa tempat. Dari kebiasaan itu juga saya
banyak berkunjung ke desa-desa di kepulaun Buton. Ya, sekalipun masi terhitung
dengan jari di desa mana saja yang pernah saya kunjungi untuk saya abadikan
gambarnya. Tapi dari kesempatan itu, saya bisa mengetahui kondisi sosial,
budaya dan kebiasaan masyarakat dari desa-desa yang pernah saya kunjungi.
Terakhir, saya mendapat kesempatan mengambil gambar di Desa Inulu untuk kebutuhan profil
desa itu. Desa Inulu sendiri salah satu desa di Kecamatan Mawasangka Timur,
Buton Tengah. Sebenarnya Inulu, desa dari mama saya dan masi satu wilayah
dengan desa yang saya tinggali, Desa Lasori, hanya berbatas jalan dan terpisah
secara administasi sejak tahun 1983. Secara kultur masyarakat dua desa ini tak
jauh berbeda. Kedua desa ini juga dikenal dengan satu nama, Lamena.
Oleh Kepala Desanya, saya diarahkan untuk bertemu
dan bercerita dengan beberapa orang masyarakat dan tokoh adat di Desa itu,
mulai dari pekerjaan mereka hingga budaya dan sejarah desa itu. Di sore hari
saya bertemu salah satu tokoh adat di desa itu, namanya H. Sidik. Selain
sebagai tokoh adat, beliau juga pernah menjabat sebaga kepala desa di desa itu.
Dari pak haji, saya mulai menggali dengan banyak
pertannyaan menyoal budaya di desa itu. Dari beberapa budaya dan tradisi yang
disebutkannya, saya masi cukup mengenalnya. Mulai dari “Kaombo” (pingitan)
ritual untuk gadis baru memasuki usia dewasa, “Kasou” untuk anak perempuan yang
suda memasuki usia balik, “Kasuna” untuk anak laki-laki yang suda memasuki usia
baliq.
Ada juga “Kasebu”, ritual bagi petani dimusim panen
tiba. Biasanya, Kasebu dilakukan saat panen raya masyarakat di dua desa itu
dengan mengundang khalayak sebagai bentuk syukur kepada Sangk Pencipta atas
hasil panen dari masyarakat.
“Kasebu ini biasanya pada malam hari disertai dengan
‘Linda’, tarian yang ditampilkan oleh perempuan. Sementara kalau laki-laki
mangaru,” tutur H. Sidik menceritakan budaya desa itu.
Dari sekian tradisi yang diceritakan, secara umum
saya cukup mengenali dianatara, karena masi dilaksanakan. Tapi ada satu tradisi
yang disebutkan pak Haji, bagi saya sangat asing dan belum pernah melihat
pelaksanaannya seperti apa ritual adat itu. “Kawolitano Liwu”, begitu pak haji
menyebutnya, sebenarnya nama itu secara arti, “Kawolitano yang berarti
membalik, sementara “Liwu” berarti kampung.
Kata pak haji,“Kawolitano Liwu” ini merupakan
tradisi pembersihan kampung. Bukan membersihkan kampung dari kotaran sampah
seperti plastik. Melainkan penyucian kampung dari dosa-dosa masyarakat di
kampung itu.
“Semua masyarakat desa ditampung di lapangan lalu
membaca taubat berkali-kali. Itu untuk membersihkan kampung, mangkali dalam kaitanya
dengan agama kotor karena ulah yang dilakukan penduduk desa,” cerita pak Haji
Sidik dengan semangat
Kata beliau ritual ini juga biasa dilakukan 12 tahun
sekali. Tapi sayang, dalam sepengetahuan saya tradisi berbaur Islami ini suda
tidak pernah dilaksanakan lagi, dan itu juga dibenarkannya.
“Anak-anak sekarang suda tadak ada yang tau, tapi
itu budaya kita yang mestinya kita jaga dan lestarikan,” ucapnya lagi
Ya. Itu benar, kekayaan dan keberagaman budaya kita
mestinya kita lesterikan dan jaga. Seperti halnya emas, tradisi positif berbaur
Islami seperti ini mestinya kita melestarikannya. Jika tidak ada upaya-upaya
penyelematan dari semua pihak, bukan tidak mungkin budaya dan tradisi yang hari
ini kita masi saksikan perlahan akan memudar dan menghilang. Dan bukan tidak
mungkin, budaya yang hilang akan lalu tergantikan dengan budaya baru yang mungkin
saja jauh dari jati diri dan nilai-nilai moral yang tertanam di desa itu
sejak lama.
0 Response to "Kawolitano Liwu, Budaya Islami Masyarakat Lamena Yang Hilang?"
Post a Comment