Anak-anak ketika berada di taman baca Hayluz. Foto : Amrin Lamena |
Sangat banyak anak muda
yang memiliki keinginan dan cita-cita membumikan literasi dilungkungnya, namun tak sedikit juga anak muda yang berkutat dan bermimpih untuk menekuni bidang ini harus
berhenti dan menyerah dengan keadaan. Dan mungin saya salah satu orang itu.
Harus berhenti melepas keinginan itu karena tak cukup memiliki banyak buku dan
sedikit ide untuk memulainya.
Namun hal itu tidak
pada teman yang satu ini. Di tengah hiruk pikuk pergaulan kota yang acuh dengan
orang-orang disekitar. Bermodalkan pengalaman yang ia miliki dan sedikit buku pribadinya,
teman itu mulai membangun sebuah gubuk di halaman rumahnya yang berisikan
beberapa rak buku bacaan.
Buku-buka itu dipampang
rapi, diperuntukan kepada siapa saja
yang hendak mampir untuk membaca. Oleh teman itu, tempat itu diberi nama taman
baca Hayluz. Sebuah nama yang sebernarnya diambil dari nama teman itu sendiri dengan
membalik ejaan namanya, Zulyah.
Teman itu Zulyah, orang-orang dekatnya sering memanggilnya
dengan panggilan Zul. Ia salah satu orang yang tekun membagi pengetahuan dengan
menjajakan buku, tak hanya di taman baca, setiap Sabtu sore teman ini juga
membuka lapak baca di kotamara. Bahkan di tahun 2016 lalu teman ini sempat
beberapa kali membuka lapak di Palabusa, sebuah Kelurahan di Kota Baubau
yang cukup jauh dari pusat kota. Sayang
aktivitas teman ini di Palabusa tak bertahan lama, ia harus hentikan karena
jarak yang cukup jauh dan akomodasi yang cukup memakan anggaran.
Namun dengan kendala-kendala
yang dihadapinya tidak talantas membuat teman ini berhenti menjajakan bacaan.
Di taman baca miliknya, para tetangga, anak-anak, pelajar, mahasiswa, teman atau
siapapun yang singgah ia selalu mempersilahkan mereka untuk membaca setiap
buku yang ada di rak-rak itu, dan di
Sabtu sore, dengan bantuan teman-temannya Zul selalu membuka lapak baca gratis
di kotamara.
Di bulan lalu, saya baru
saja berkunjung kesana, setelah hampir beberapa bulan lamanya tak ketempat itu
lagi. Tak banyak yang berubah, selain tambahan beberapa tempat duduk untuk
pembaca dan gerobak yang dulu kosong sekarang mulai difungsikan untuk membuat
jus anekah buah, kopi, Fres teh. Masi tetap hijau dan sejuk disiang hari dengan
pepohonan dan pot-pot yang dipenuhi bunga-bunga.
Taman Baca Hayluz saat menghadirkan Gol A Gong sebagai Narasumber. Foto : Amrin Lamena |
Di taman baca Hayluz, teman
itu tak hanya menyediakan buku bacaan, di beberapa kesempatan, Zul sering kali
menyelenggarakan dialog interaktif tentang literasi dengan menghadirkan para
pembicara yang handal dibidang itu. Terakhir kali, satu minggu lalu saya mengikuti
dialog yang diselenggarakannya, pada kesempatan itu Zul menghadirkan Gol A
Gong. Seorang penulis buku-buku best
seller yang juga berprofesi sebagai
jurnalis.
Sang penulis novel
fenomenal “Balada Si Roy”. Gol A Gong juga seorang petualang sejati yang telah
menjelajahi banyak tempat di Nusanatara. Dia menyebut dirinya seorang
Avonturir. Berpetualang menelusuri kemana saja matahari berjalan. Mulai dari
Aceh hingga Papua, bahkan beberapa
negera dibelahan bumi lainnya telah dijejakinya, berkat kemampuannya dalam menulis.
Yang menanmba kekaguman
saya pada si pemilik nama lengkap Heri Hendrayana Harris ini, tidak hanya pada kemampuannya dalam menghasilkan
buku-buku best seller. Gong tidak seperti orang kebanyakan. Dengan segala
keterbatasannya-tangan kirinya putus saat masi anak-anak, namun ia memiliki
semangat yang luar biasa, dan dekat dengan siapa saja.
Gong juga adalah sangk
petualang sejati yang tak pernah lupa untuk pulang. Malam itu, Gong banyak berbagi
pengalaman dan menginspirasi anak-anak muda yang hadir di taman baca Hayluz. Berkat
Gong semangat menulis saya kembali mencapai titik puncaknya, setelah sekilan
lama kebiasaan menulis di blog pribadi saya tanggalkan.
Berkat Hayluz, saya
bertemu dengan pemilik sekaligus pendiri ‘Rumah Dunia’ itu, rumah yang telah
banyak melahirkan penulis dan wartawan. Hayluz telah menjadi perantara yang
ampuh, memberi setitik cahayah di tengah-tengah kota yang sedang redup akan
literasi.
Keseriusan mba Zul
untuk menyediakan bacaan dan menyebarkan virus-virus literasi di kota Baubau
tidak hanya mengisi waktu luangnya, sampai pada puncanknya, teman itu berharap
agar bisa terjadi gerakan dahsyat di kota kecil Pulau Buton. Gerakan itu Zul
memberinya nama gempa literasi. Gerakan dimana orang-orang di kota itu melek
literasi.
Saya masi ingat betul
dimana kali pertama saya bercerita panjang lebar dengan teman itu. Kata dia, di
zaman modern yang serba digital seperti saat ini. Butuh upaya penyelamatan
terhadap buku dan generasi.
“Harapannya agar buku bisa diapresiasi
sebagai karya dan pengetahuan. Buku itu penting untuk diselamatkan dan jadi
penyelamat mata generasi millenial. Digital itu asyik, tapi juga berbahaya
untuk kesehatan fisik dan mental,” ucap Zul kala itu dengan
gurauan khasnya
Keseriusan teman ini perlu diapresiasi, dan apa yang
menjadi harapannya itu bukan suatu hal yang berlebihan. Semua orang yang
mengenalnya dan pernah mengunjungi taman baca miliknya, saya yakin akan sependapat
dengan saya. Teman itu telah meletakan setitik cahayah yang mungkin tidak semua
orang bisa melakukannya dengan hanya memanfaatkan fasilitas seadaanya dan
jejaring yang dimilikinya.
Kehadiran taman baca Hayluz seperti oase di tengah
gurun pasir yang dilanda kekeringan. Setitik cahaya yang mendatangi gelap.
Baubau, 8 November 2019
0 Response to "Gempa Literasi Di Tengah-Tengah Kota"
Post a Comment