Lestari alamku lestari desaku.
Dimana Tuhanku menitipkan aku.
Nyanyi bocah-bocah di kala purnama
Nyanyikan pujaan untuk nusa
Damai saudaraku suburlah bumiku.
Kuingat ibuku dongengkan cerita
Kisah tentang jaya nusantara lama
Tentram kartaraharja di sana
Mengapa tanahku rawan ini
Bukit bukit pun telanjang berdiri
Pohon dan rumput enggan bersemi kembali
Burung-burung pun malu bernyanyi
Kuingin bukitku hijau kembali
Semak rumput pun tak sabar menanti
Doa kan kuucapkan hari demi hari
Dan kapankah hati ini lapang lagi...
Begitulah Lirik lagu ciptaan seorang seniman bernama Gombloh yang berjudul "Lestari Alamku". Lagu yang menggambarkan harapan seoarng anak Kampung, dimana Desa ia dirlahirkan mulai digerogoti oleh modernitas. Pohon-pohon dan bebukitan mulai menggundul buah hasil dari kemajuan.
Lirik lagu yang berjudul lestari alamku saya melihatnya sedikit menggabarkan desaku, desa di mana saya dilahirkan. Desa dimana kita kenal dengan nilai moralitas masyarakatnya yang tinggi. Nilai-nilai moral, budaya dan adat istiadat serta gotong royong sangat dijunjung tinggi. Berbanding terbalik dengan Masyarakat kota, di mana tipikal masyarakatnya acuh dengan sekelilingnya, sederhananya siapa dia ? siapa saya? Begitulah para sosiolog menggambarkan tipikal masyarakat kota. Siapa sangka desa dimana sebagian orang beranggapan desa adalaah sarangnya kemiskinan, kumuh, terbelakang kini berubah, desaku kini menjadi lahan mencari pekerjaan mengais rupiah bagi orang-orang kota dengan modal sederhana, cukup berpakayan seksi bukan pula berparas cantik apa lagi berpendidikan tinggi. Mungkin kita akan berbangga ? Menyedihkan.
Apa kiranya kini yang akan kita banggakan dari desa tercinta. Berbudaya ? Sepertinya tidak, nenek moyang kita tak cukup banyak meninggalkan budaya yang mampu kita pertahankan. Hasil alamnya ? Sepertinya juga tidak, jambu mente saja enggan untuk berbuah padahal sudah kita rawat apa lagi lautnya yang tiap harinya kita ledaki. KeIndahan alamnya ? Maaf kawan disana hanya pemandangan batu cadas yang terpampang jelas melintang. Pendidikannya atau mingkin masyarakatnya yang religius ? Sepertinya tidak juga kawan, lihat saja penggunaan miras hampir tak kenal tempat, ditamba lagi penyediaan hiburan malam yang mempekerjakan ledys-ledis kota, waoh bukan ? Mungkin itu yang akan kita banggakan ? Menjijikan.
Ilustra Pekerja Hiburan Malam |
Siang kemarin saya membaca status seorang politisi PAN Zulkifli Hasan dihalaman Fbnya, ia berkata dalam statusnya ; Saya selalu percaya : Pendidikan adalah jalan untuk berubah. Sekolah adalah tempat lingkaran kemiskinan harus berhenti, katanya.
Saya sangat sepakat dengan pernyataan itu, tapi di desaku begimana mungkin pendidikan akan mengubah jalan kami dan bagaimana mungkin sekolah akan memutuskan lingkaran kemiskinan, sementara untuk sampai di sekolah saja kita harus dipertontonkan sebuah tempat yang menampung ledis-ledis berpakayan seksi di tempat hiburan itu, tepat berada didekat sekolah Dasar. Mungkin itu yang di katakan sekali mendayu dua pulau terlampaui, umh entalah muda-mudahan saja adik-adik kami mampu menyerap pelajaran. Lanjut Zulkifli Hasan ; Miskin, dari desa, bukan penghalang. Yang utama maukah kita kerja keras mengubah nasib?
Percayakah kita bahwa Allah tak akan mengubah nasib kalau kita sendiri tak sungguh sungguh? Lagi-lagi saya dibuatnya sepakat dengan pernyataan itu, buktinya di desa kami karna kesungguhan dan kerja keras bukan hanya mampu mengubah nasip tapi justru mampu menggait orang-orang kota untuk bekerja di sana, di desa ini orang kota terperdayakan siapa penikmatnya tentu masyarakat desa dan sekitarnya, siapa mereka ? ya kita-kita yang ada di desa, sudalah tidak usah kita mengelak lagi buktinya kita sah-sah saja saat ini.
Saya sangat sepakat dengan pernyataan itu, tapi di desaku begimana mungkin pendidikan akan mengubah jalan kami dan bagaimana mungkin sekolah akan memutuskan lingkaran kemiskinan, sementara untuk sampai di sekolah saja kita harus dipertontonkan sebuah tempat yang menampung ledis-ledis berpakayan seksi di tempat hiburan itu, tepat berada didekat sekolah Dasar. Mungkin itu yang di katakan sekali mendayu dua pulau terlampaui, umh entalah muda-mudahan saja adik-adik kami mampu menyerap pelajaran. Lanjut Zulkifli Hasan ; Miskin, dari desa, bukan penghalang. Yang utama maukah kita kerja keras mengubah nasib?
Percayakah kita bahwa Allah tak akan mengubah nasib kalau kita sendiri tak sungguh sungguh? Lagi-lagi saya dibuatnya sepakat dengan pernyataan itu, buktinya di desa kami karna kesungguhan dan kerja keras bukan hanya mampu mengubah nasip tapi justru mampu menggait orang-orang kota untuk bekerja di sana, di desa ini orang kota terperdayakan siapa penikmatnya tentu masyarakat desa dan sekitarnya, siapa mereka ? ya kita-kita yang ada di desa, sudalah tidak usah kita mengelak lagi buktinya kita sah-sah saja saat ini.
Sekalipun demikian saya yakin masi ada di antara kita semua orang desa yang sadar dan tidak sepakat dengan adanya tempat-tempat itu, adanya tempat hiburan malam yang menyediaka ledis hanyalah persoalan pencapaiyan keuntungan. Dengan adanya ledis-ledis itu keuntungan yang di dapat bagi pembisnis akan meningkat dari pada penyedia miras toh, tapi tau kah kita apa yang harus di korbankan adanya tempat ini ? Semakin merosotnya moral pemuda setempat, itu benar. Kriminalitas seperti pemukulan, pembunuhan dan pencurian akan semakin meningkat, itu juga benar. Dan bila ditinjau dari segi ekonomi mungkin sebagian dari kita akan beragampan bahwa adanya tempat hiburan malam ini akan semakin menambah jumlah perputaran ekonimi dan menambah penghasilan masyarakat di desa karna pengunjung kafe atau apalah nama tepatnya, yang pasti dari segi ekonomi adanya tempat tersebut hanya membawa kentungan pemilik kafe tersebut dan justru adanya tempat tersebut malah menggorogeti ekonomi masyarakat, ya pekerja-pekerja tersebut notabennya menetap di kota baubau ketika mereka sudah mendapatkan uang sudah pasti membawanya belanja di kota baubau karena tidak mungkin mereka membeli jagung apalagi mendandani diri mereka dengan daun kelor. Jadi apa yang di dapatkan oleh desa dan masyarakatnya ? Penyakit dan dosa yang menurun kepada anak-anak kita serta adik-adik kita bahkan istri-istri kita, miriis. Dilihat juga dari segi kesehatan, pasti anak kesehatan sepakat adanya tempat ini akan menjadi awal mula menyebarnya penyakit kelamin di desa, oh iya saya sendiri pernah melihat salah seorang anak yang masi duduk dibangku sekolah Menengah Pertama (SMP) berobat di puskesma di desa saya karna terkena penyakit spilis, ya baru jhe spilis tinggal kita tunggu HIV entah itu kapan yang pasti akan ada jika masi seperti hari ini.
Bagaimana dengan pemerintah setempat ? Jika ada yang bertanya demikian, maka jawabannya Sudalah sebagian dari mereka adalah penikmatnya, di antaranya sedang tertidur menunggu dan berharap ada yang membangunkannya, ya seperti itu faktanya menunggu gerakan masyarakat baru ditindak lanjuti katanya, ya bisa jadi kambing hitam lepas tangan kalau-kalau ada yang keberatan, biasa politik cari aman. Kita sibuk membangun, mempercantik desa memakaikan kosmetik, lipstik yang merah merona sedemikian rupa, pewangi kita taburkan di mana-mana. Sementara bau busuk bersarang di tengah-tengah desa. Apalah artinya kita membangun sana sini mek over sedemikian rupa hampir menyerupai kota sementara hal yang paling fital berhubungan dengan moralitas serta jati diri desa kita lupakan. Kita tidak perlu muluk-muluk membangun gedung-gedung mewah sepertihalnya di kota lalu kita abai dengan persoalan yang non fisik, yang ada hanya sebuah kemundurun dan dekdarasi, krisis moral terlebih generasi penerusnya. Jadi tidak usah kita heran kalau-kalau ada tetangga bahkan dalam rumah tangga kita sendiri sering terjadi keributan, cekcok, suami kita pulang dengan kondisi mabuk, saudara kita teriak sana sini tak bermoral, anak-anak kita sudah tak beretika, nakal. Dan lambat laun konsekuensinya marakanya hubungan seks bebas.
Saya kemudian berpikir untuk apa hari ini kita masi melaksanakan perhelatan-perhelatan budaya seperti kasuna, kasou dan kaoumbo. Misalnya kaombo yaitu untuk anak-anak perempuan yang sudah memasuki usiah dewasa melalui kaombao anak-anak perempuan mendapat pepesan moral begimana berkehidupan dalam rumah tangga dan lingkungan sosial yang baik, melalui kaombo pepesan moral itu ditanamkan tapi bukankah sia-sia jika di kehidupan nyata kita diperhadapkan dengan hal-hal yang jauh tak bermoral, dari cara berpakayan sampai tingkah laku. Karna tidak mungkin pelajaran yang saling bertolak belakang kita mengadopsinya satu kaligus yang ada pasti koslet.
Yang pasti tidak ada pembenaran adanya tempat hiburan malam apa lagi menyediakan ledis, ini sangat jauh dari apa yang menjadi jati diri desa itu sindiri. Maka pilihanya hanya dua pertama pertahankan, ya konsekuensinya merusak moral pemuda, menyebarnya penyakit kelamin, menambah jumlah kriminaliras di desa serta lambat laun budaya, adat istiadat tinggal akan menjadi dongeng pengantar tidur. Dan Pilihan kedua hilangkan, konsekuensinya sudah pasti dibenci orang-orang yang pro dengan adanya tempat itu dan itu pilahan tepatnya.
Baubau, 12 Juli 2017
0 Response to "Potret Kota Ala Desaku"
Post a Comment