Kopi dan Politik

Sumber :Kamera henphon Amrin Lamena

DALAM setiap sesapnya menjadi khas tersendiri bagi penikmatnya. Kopi dan Politik, keduanya tak sama, kopi tetaplah kopi dan politik tetaplah politik. Tetapi keduanya sering dipertemukan dalam setiap kesempatan. Dalam ruang diskusi yang bertemakan politik, tak sempurna tanpa ditemani secangkir kopi, begitu sebaliknya tak asik dikala menyeruput secangkir kopi dengan seorang teman jika tanpa dibumbuhi diskusi politik, kata para pengidap keduanya.

Yang mengakses keduanya pun hampir oleh semua kalangan tak mengenal dari kalangan mana, mulai dari kelompok deker, kaum akar rumput sampai pada kaum elit atau apapun sebutan sejenisnya. Keduanya pun hampir dipresepsikan sama yakni merusak dan membangun. Kata para pembenci keduanya sering berkata ; Kopi, jangan terlalu banyak mengonsumsi kopi, tidak baik untuk kesehatan katanya. Politik, jangan terjun diduni politik, politik itu rusak. Lihat banyak di negeri ini tindakan korupsi Kolusi dan Nepotisme hampir semua pelakunya dari kalangan politisi (politisi bukan politik).

Dan para pengidap, tentunya akan berspekulasi lain. Kopi, jika dia manusia yang sama sepertiku dia adalah teman, kawan yang selalu setia menemani dikala sendiri maupun dikala berpikir produktif dan dia adalah teman yang asyik. Politik, dia adalah wadah untuk berkarya dan politik adalah seni untuk meyakinkan orang-orang dan menjaga keyakinan itu dengan kerja-kerja riil (Yusran Darmawan). Ya politik adalah jalur yang bisa menciptakan peradaban.
Selakan menilai !!!

Mungkin itu terlalu subjektif menyamakan kopi dan politik atau apapun pandangan anda terhadap tulisan diatas. Tetapi nyatanya memang seperti itu kita masi dituntut harus subjektif, jika masi saja pandangan kita dalam menilai sesuatu objek melihat hanya pada satu sisi. Mungkin ini bukan tentang itu, jauh dari pada itu. Dalam dunia politik sering kali sebagian para pelaku dibidang ini masi mengadopsi kalimat "bahwa dalam berpolitik tidak ada teman yang sejati". Kalau sudah demikan pandangan kita baiknya kita mesti banyak belajar pada secangkir kopi yang menampung beberapa unsur yang berbeda lalu menciptakan rasa yang menggugah selerah bagi para penikmatnya.

Politik, sesuatu memang. Saya mempresepsikan bahwa "dalam berpolitik tidak ada musuh yang abadi". Perbedaan pandangan dan pilihan itu hanya menyangkut persoalan selerah masing-masing yang tidak mesti kita persoalkan.
Seperti kopi, sekalipun ia terbuat dari unsur yang berbeda bahkan sangat bertolak belakang (manis dan pahit) yang pada akhirnya ia ketika disatukan dalam cangkir, ia menghasilkan rasa yang disukai banyak orang

Begimana dalam politik ? Perbedaan yang kemarin ataupun yang akan datang, tidak mesti kita menyimpanya seperti bara dalam cekam. Bangsa ini tidak menuntut kemungkinan membutuhkan kita untuk bersama. Kalau sudah demikian ? Apakah kita harus menolak ? Bukankah semangat tujuan kita menempuh dan terjun dijalur politik untuk melihat bangsa ini agar lebih baik. Seperti halnya kopi persoalan rasa tergantung begimana cara dan metode peraciknya hingga menghasilkan kopi yang disukai oleh penikmatnya, begitu juga dalam politik baik buruknya tergantung siapa peraciknya dalam hal ini para politisi yang senantiasa mengubar janji. karna politisi harus mengubar janji kalau tidak mengubar janji dia bukanlah politisi. Hasil akhirnya andalah penentunya.

Kendari, 17 April 2017

0 Response to "Kopi dan Politik"

Post a Comment