Memandang Senja di ufuk barat |
KALIMAT itu terkadang membuat saya sesak mendengarnya dan tak ingin mendengarnya keseringan. Sore itu dipusat ruang publik kotamarah ketika bersama si dia sang kekasih yang belum juga saya halalkan, awalnya kami hanya sekedar jalan-jalan menikmati sunset sembari menyeruput kopi dan menikmati jajanan disana seperti pasangan anak muda kebanyakan di kota baubau dikala mengisi waktu kosong.
Awal perbincangan saling bercanda gurau dan membuli. Ya itu kebiasaan kami di saat melepas rindu satu sama lainya. Setelah beberapa pekan lamanya tak bersua Karna kesibukan yang lebih banyak waktu liburan saya habiskan dikampung halaman karna pekerjaan, sementara dia lebih memilih memanfaatkan waktu libur kampus dengan bekerja menjaga kios orang yang kebetulan sedang butuh tenaga kerja untuk beberapa saat. Di tengah perbincangan ia kemudian menceritakan pengalamannya, bahwa beberapa hari lalu ia baru saja menghadiri acara resepsi perkawinan orang sekampungnya yang kebetulan digelar di kota baubau. Sebagai kekasih yang baik tentu saya mendengarkan cerita itu dengan baik, namun beberapa saat bercerita, entah apa yang membuatnya tiba-tiba memegang tanganku dan dengan spontan suaranya melemah dan wajahnya kelihatan lebih serius dari sebelumnya, yang sedikit riang.
"Kak tiba saatnya nanti kita dipersatukan dengan ucapan ijab kabul, harapku kita bisa seperti yang lainya, bisa duduk bersanding di atas pelaminan seperti halnya raja dan ratu yang disalami tamu-tamu yang ramai berdatangan. Kak itu impianku, menjadi ratu sehari yang mendampingi sang raja", ucapnya. Mendengar ucapan itu membuat saya tak bisa bertutur kata, seolah mulut saya bungkam dan batinku bergejolak. Entah sampai berapa lama membanting tulang untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah agar dapat seperti yang kau impikan itu, batinku. Kemudian dia melanjutkannya lagi "Kak sampai kapan kita seperti ini saya dan orang tua ku berharap secapatnya agar kakak bisa segera melamar dan menghalalkanku, setidaknya seusai ketika saya wisuda nanti" tambahnya. Kalimat itu begitu menghantam batinku membuat saya terperanga dalam diam.
Niat suci itu bukankah tujuan semua lelakih normal seperti aku, bisa menghalakan wanita yang ia cintai. Namun disisi lain impian itu seperti ketika menuju dalam sebuah tempat dalam gelap tak bercahaya. Ya impianmu terasa memberatkanku menukik punggungku yang tak mampu memikulnya dan membawanya berlari, seperti senja yang menciptakan sunset yang dapat membahagiakan yang terkasihi. Impian itu serasa jauh dari hadapanku. Ya saya hanya anak yang terlahir dari keluarga yang sederhana yang dimana penghasilan orang tuaku hanya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Mungkin kamu lupa kalau dua tahun lalu saya telah kehilangan orang yang saya sayangi, seorang bapak yang selama ini aku gantungkan hidupku dan seluruh biaya sekolah ku. Mungkin kamu lupa, setelah kepergiannya aku mulai mencoba berhemat, mencoba mengeluarkan keringat untuk bekerja. Itupun kau tau, tidak sampai dimana. Hannya cukup membayar spp kuliah, bahkan kadang tidak mencukupinya. Belum lagi uang saku untuk makan sehari-hari serba terbatas yang kadang membuat saya harus meminta belas kasih darimu untuk mengisi perut kosong ini. Batinku.
Entahla, saya hanya masi bisa terdiam dan memandangimu saja. Belum lagi impian-impian yang pernah saya semaikan belum lagi terwujud, entah sampai kapan aku bisa mewujudkannya. impianku dan impianmu, bimbangku yang terkadang jiwa ini serasa jiwa yang tak bertuan. Yang ada dalam benakku saat ini, ku ingin dahulu ku ingin mengejar impianku dan mewujudkannya, dan mungkin kau akan bertanya setelah membaca ini kalau-kalau ini sampai kepadamu, lalu begimana dengan impianku ?.
Sekalipun demikian, aku ingin tetap mengajakmu melihat sinar matahari menembus tirai-tirai jendela. Membangunkanmu di pagi hari, dan mengantarmu kemana engkau pergi. Mengusap keningmu di kala kau kelelahan dan menbutuhkan dukungan canda yang mengobati. Harapku, ku ingin kau bersabar. Kalau kau bersedia menunggu mewujudkan impianmu dan kalau-kalau nanti Tuham meridhoy cinta kita dan mewujudkannya.
Semoga engkau juga mengerti, untuk dapat melihat matahari di hatiku.
22 September 2017
(Sesi Pertama Menulis Free Writing Ala Ode Literasi)
0 Response to "ImpianMu MemberatkanKu"
Post a Comment