Sumber Gamba; Liputan6.com |
Selamat datang di era melenial, dimana dunia tanpa batas. Era yang telah memperselakan kita dalam dunia serba serbi kecanggihan. Dimana segala kebutuhan dapat diakses dengan mudah. Dimana jarak bukan lagi pengahalang, dimana keterbatasan bukan lagi persoalan. Semua dengan mudah diakses dengan menatap layar gatget.
Ya. Seseorang yang lahir pada era melenial lebih suka menatap layar gatget dari pada orang yang duduk di samping atau di hadapan mereka. Tak peduli, guru sekalipun diperlakukan seperti itu. Kok bisa? Ya bisa-bisa saja, nah kamu lebih suka memandangi layar hpmu disaat guru menjelaskan. Lebih penting dering bbmmu dari pada celoteh guru saat berada di depan kelas mengajarkan banyak hal.
Di era melenial, melek teknologi itu sudah hal yang biasa. Bukan hanya lagi konsumsi sejelintir orang saja. Hampir semua kalangan bisa mengaksesnya, tak peduli siapa dia, berapa usiahnya. Balita saja sudah berselancar dalam dunia maya. Ah masa ? Ya. anak tetangga saya saja mahir berselancar dalam internet. Kok bisa ya dibiarkan begitu? Sebagian besar ibu-ibu melenial membesarkan anak-anak mereka dengan cara mereka sendiri. Biar dibilang kekinian, ibu-ibu melenial enggan membesarkan anak-anak mereka dengan cara yang sama saat mereka dibesarkan.
Generasi melenial tentunya mempunyai banyak jaringan. Memiliki media sosial seperti facebook, twitter, instalgram, youtube dan lain-lain. Yang selalu diakses banyak orang, dan sudah pasti banyak teman, seruh dan asik pasti. Ya, generasi melenial, biar dibilang kekenian sedikit-sedikit ekspo, naik gunung eksplo, kepantai eksplo, makan eksplo. Saking alainya, biar masuk kamar mandi dieksplo bro. Ya ampun tutup mata mhe kita de, ups maaf, mungkin terlalu berlebihan. Tapi memang bukannya kita sering lihat tampilan-tampilan yang berlebihan ?? Ah sudalah lupakan saja jangan sampai keceplosan.
Ada yang bilang, generasi melenial dituntut harus jago teknologi informasi, sebab internet dan teknologi akan mengusai era ini. Mengirim sesuatu dari satu benua kebenua lain cukup dengan memencet tombol. Untuk chat, bisa langsung menatap di layar dan seterunsya. Ah sudalah kita tidak perlu sekaget ini, karna sekarang kita sudah biasa menggunakannya. Toh saking hebatnya. Sering kali kita melihat berita yang diedit, pelintir sampai yang dusta jadi hiasan media sosial tiap detiknya. Akibatnya, jangan heran kalau ulama, para pemuka, tokoh, serta orang-orang lurus bisa tersandung. Atau kita pernah mendengar kabar seorang anak muda bernama Dwi Hartanto. Nah itu dia anak muda yang sempat naik daun karna kebohongannya di dunia maya, bahwa ia adalah juara olimpiade kimia yang mewakili Indonesia. Spontan namanya membumi diangket oleh beberapa media perihal kesuksesaannya yang telah mengharumkan nama Indonesia dikanca dunia. Alhasil anak muda itu menjadi bulian dan cibiran banyak orang setelanya. Ia telah berbohong yang dimana kebohongannya itu di angkat oleh media yang tidak pernah mau cari tau kebenaran kabar dari anak muda itu. Ah sudalah kita lupakan saja perihal anak muda itu, mungkin ia hanya butuh panggung dengan mencari sensasi. Dan lupakan saja media-media konyol yang tak berbobot itu.
Era melenial, kita dipaksa menjadi konsumen setia. Melototi setiap produk-produk yang dipampang dalam layar. Lebih ironisnya seperti facebook, twiteer, youtube dengan mudahnya menawarkan tontonan-tontonan bugil yang sangat tidak mendidik. Sampe-sampe ada teman saya yang bilang, mau dilihat dosa, tidak dilihat juga mubajir, mubajir juga kan dosa, mending liat saja. Ah mungkin teman saya sudah terlalu kecanduan hingga sampe ngaur gitu ucapannya. Tapi ada sedikit benarnya, mau tidak mau kita dipaksa untuk menontonnya karna setiap kali membuka youtube, facebook, dan berselancar dalam internet, gambar seperti itu selalu menjadi konten yang direkomendasikan untuk ditonton, hingga akhirnya memicu penasaran. Ngintip dikit-dikit bole lah. Ups maaf. Atau mungkin kita pernah lihat perdebatan teman-teman seperti di facebook, ya pasti pernalah. Biasanya perdebatan itu mengangkat tema yang sangat menarik untuk disimak, bahkan kadang membuat kita ikut nimbrung disitu untuk berdiskusi. Tapi taukan? Sering kali perdebatan dalam media sosial hanya menyisakan sesak dan sakit kepala. Apa lagi disitu ada akun-akun siluman gitukan. Semua orang ketika berada dalam dunia maya berubah jadi super hiro. Taukan super hiro? Itu filem serial anak-anak yang serba bisa dan kuat yang menjadi idola banyak anak-anak. Tapi itu super hiro, kalau dalam media sosial bukan hanya super hiro tapi super hiro pangkat dua kata teman saya, berganda. Hebat kan? Ya. Hebat saking hebatnya yang benar disalahkan dan yang salah dibenarkan. Awee sekejam itukah dunia maya ? Bisa iya, bisa juga tidak. Tapi itu hanyalah deretan kepalsuan media sosial yang tak berguna.
Akhir-akhir ini saya sering berdisku dengan teman-teman dan senior di grub via WA. Grub itu bernama ode literasi. Ada yang tau apa itu ode literasi ? Nantilah teman-teman cari tau apa itu ode literasi. Bagi saya salah satu manfaat perkembangan tekhnologi adalah itu, bisa mengenal mereka yang berikhtiar menghadapi era melenial dengan karya. Atau kita pernah mendengar nama Yusran Darmawan, seorang penulis dan penelitia asal buton. Siapa yang tidak kenal beliau dalam dunia literasi Indonesia? Ketika kita bicara soal Yusran Darmawan maka kita tertuju pada satu blog, ya Timur Angin. Beliau adalah penulis blog yang produktif, tulisan-tulisannya yang dikemas ringan dan berbobot telah banyak menginspirasi banyak orang. Kalau saya tidak salah, karna bakat menulisnya kak Yusran Darmawan mendapatkan beasiswa S3 di Uhio Amerika Serikat. Selain itu masi ada deretan nama lainya seperti Suhardiyanto, biasa kita memanggilnya dengan papa muda, penulis buku fatwa jomblo. Dan tak elok jika saya tidak sematkan nama ini, Yadi La Ode nama medianya. Salah satu penulis blog yang saya kagumi, sekaligus orang yang selalu mengilhami saya untuk menulis. Yadi La Ode, salah satu orang yang telah banyak melalang buana di pula-pulau nusantra karna bakat menulisnya.
Dari mereka-mereka itu saya mengerti satu hal tentang media sosial, dunianya para narsis. Ya. Satu hal, begimana menggunakan media sosial dengan bijak.
Generasi kita adalah generasi yang berbeda, begitu merdeka generasi kita, kita adalah masyarakat dunia yang tersambung dengan seluruh dunia. Hambatan bukan lagi persoalan, kekurangan bukan lagi masalah, dengan mudah kita bisa mengaksesnya dan belajar banyak hal dengan itu semua dan menghasilkan banyak karya. Orang-orang saya semaikan namanya di atas adalah orang-orang yang sudah banyak menghasilkan karya-karya tulisnya. Mungkin ada yang bercita-cita ingin seperti mereka. Selakan memulai menulis untuk menghasilkan karya.
Mungkin terlalu muluk kalau kita berbicara soal menghasilkan sebuah karya seperti buku, yang terpenting mulailah menulis sebuah kalimat atau sepenggal kata yang dapat mengilhami orang lain di media sosial yang kita miliki. Lalu, mulai lah merangkak dan merangkak untuk menghasilkan karya.
Apa cita-cita kita? Mau jadi apa kita? Era melenial adala era untuk berkarya, untuk jadi apa saja yang kita kehendaki. Jadilah pekerja kreatif yang tidak monoton, yang terpenting sertai selalu dengan kesabaran dan kegigihan untuk menjadi seperti yang kita harapkan. Catatan, Gunakan media sosial dengan bijak, ini bukan hanya soal menjadi seorang penulis.
Baubau, 3 November 2017
0 Response to "Catatan Generasi Melenial"
Post a Comment