Menunggu memang pekerjaan yang membosankan, apapun bentuknya menunggu tetap saja pekerjaan yang membosankan. Siapapun yang ditunggu, sepenting apapun dia menunggu tetap saja barang yang membosankan. Belum lagi aktivitas lain yang sengaja ditinggalkan hanya untuk mengejar waktu yang sudah ditentukan dengan orang yang kita tunggu.
Ah sial hampir satu jam saya disini. Duduk berderatan dengan para mahasiswa lain yang mungkin sama dengan saya, menunggu dosen. Sementara gerbang pintu menuju fakultas masi tertutup rapat, belum juga ada tanda untuk dibuka. Kursi-kursi yang di sediakan diruang depan tangga lantai dua terisi ful, oleh para mahasiswa. Mungkin sengaja kursi-kursi itu dipasang di tempat strategi seperti ini untuk menunggu dan melototi setiap ada kali yang menaiki tangga. Seperti saat berada di trotoar saja, menunggu angkutan umum yang hendak lewat. Dari kejauhan sudah memperhatikan anggkot yang datang lalu berdirih melambaikan tangan. Eh setibanya didepan, lalu sopir angkut kelurkan kepala dan berkata "maaf mas sudah ful". Atau hendak memberhentikan pria berkendara dengan sepeda motor yang membawa dua helem "Mas ojek mas". Betapa sakit hatinya kita, ternya seseorang itu hanyalah bapak yang hendak menjemput anaknya pulang dari sekolah. Maaf anda kurang beruntung, selakan coba lagi.
Ah mununggu saja dulu, mungkin akan segera datang maha guru yang mulia penuh pengetahuan itu. Suda satu jam saya berada diantara deretan mahasiswa lain, mahasiswa yang hendak menuntut ilmu dengan penuh semangat. Semenjak matahari mencul sejengkal di antara bebukitan mereka telah memadati kursi-kursi ini. Di sela-sela penantian yang menjenuhkan itu, saya menjalankan pandangan disetiap sudut ruangan. Kemudian saya berpikir, seandainya saja diruang depan tangga ini, disedian rak yang berisi buka-buku. Mungkin saja pemadangan yang terlihat akan sedikit berbeda, sedikit berkesan intelektual. Bukan pemandangan orang-orang yang tengah disibukan melototi HP untuk bermain games atau berselancar dalam media sosial. Atau sibuk melototi teman yang sedang memandang layar HPnya, kali ini saya masuk kategori itu maklum lagi tidak ada paket data.
Saya kemudian membayangkan betapa hebatnya mahasiswa-mahasiswa, kalau tiap hari harus menunggu satu jam, diselah menunggu menyempatkan diri membaca buku yang ada, kalau ada. Dengan mudah para hasiswa polos itu akan mudah mengakses buku-buku bacaan, sayangnya itu tidak ada atau mungkin tidak akan pernah mungkin ada. Ya saya kemudian teringat dengan kalimat dalam sebuah buku yang berjudul "The Power Of Reading". Dalam buku yang ditulis oleh Ngainun Naim itu, Suherman (2010) mengatakan "Fenomena Pengangguran intelektual tidak akan terjadi manakalah siswa dan Mahasiswa memiliki tradisi membaca yang baik".
Tragedi kemiskinan dan kemelut pendidikan yang terjadi di Indonesia sekarang ini disebabkan karena rendahnya kesadaran dan minat membaca. Persoalan-persoalan yang ada dalam dunia pendidikan sebenarnya dapat di selesaikan dengan membaca. Pendidikan tanpa membaca bagaikan raga tanpa ruh. Kampus yang tiap tahunnya menproduksi puluhan sarjana dari berbagai program study, nampaknya belum mampu memnjawab kemelut kemiskinan dan persoalan pengangguran.
Hampir tidak ada yang bisa diharapkan dari kampus. Kampus yang biasanya identik dengan rutinitas membaca buku, hampir tidak ditemukan disini. Kampus tak ubahnya ladang gersang memproduksi manusia-manusia yang kaku, aktivititas kampus yang dituntut penuh pengetahuan melalui proses belajar mengajar dalam ruangan yang sarat akan pemenuhan administrasi belaka.
Ah sudalah, mungkin ini suda terlalu banyak saya berceloteh dalam lembaran putih ini, menuangkan seluruh kegalauan. Sudah satu jam setengah saya dan para mahasiswa lainya menghangatkan kursi-kursi ini. Akhirnya orang yang ditunggu-tunggu tiba juga dan segera membuka gembong yang cukup lumayan besar itu. Gerbang terbuka tanpa basa-basi lagi, saya dan para mahasiswa lainya lekas masuk menuju ruang kuliah. Ingat aturan yang berlaku antara senior dan junior yang selalu diteriakan para senior ketika mapermaba ? Ya tepat. Pasal satu, dosen tidak pernah salah. Pasal dua, kalau dosen salah kembali kepasal satu.
0 Response to "Menunggu Ditengah Ladang Yang Gersang"
Post a Comment