Telur Tangkal Corona, Fakta Bermedia Sosial Kita Yang Menyimpang

Ilustrasi telur tangkal viru corona.
Sejak awal adanya informasi mewabahnya virus corona di Indonesia, begitu banyak informasi simpang siur di media sosial yang belum pasti kebenaranya. Sayangnya, tak sedikit dari mereka yang mendapati info itu ditelan menta-menta dan langsung memercayainya. Salah satu yang sedang beredar dan cukup meresahkan warga hampir siluruh tanah air adalah informasi bahwa telur rebus bisa menangkal virus corona.

Informasi itu mengatakan  ada seorang bayi yang baru lahir langsung berbicara. Bayi tersebut meminta warga harus makan telur rebus sebelum jam 12 malam untuk menangkal virus corona.Umumnya info ini disebar di media sosial seperti  facebook, aplikasi pesan whatsapp, dan mesengger yang dibagikan secara berantai.

Informasi ini pun tampaknya banyak dipercayai oleh masyarakat. Di kampung saya, sekitar pukul 23.00 Wita warga berbondong-bondong, mencari telur, membangunkan para tetangga, sanak saudara mereka dan mengingatkan isi pesan tersebut untuk segera merebus telur dan memakanya sebelum pukul 00.00 WITA.

Awalnya, saya mengira informasi ini merupakan instruksi dari pihak Puskesmas setempat, untuk meningkatkan daya imun masyarakat, dan besoknya akan ada program lanjutan untuk mencegah penyebaran virus corona. Saya langsung menghubungi teman yang ada di Puskesmas. Teman itu mennyampaikan tidak ada instruk seperti itu, melainkan hanya arahan untuk menghindari dan mengurangi kumpul-kumpul dengan banyak orang.

Belum semenit saya menghubungi teman di Puskemas itu, di aplikasi pesan mesengger saya, suda ada dua pesan yang masuk menghinfokan hal tersebut. Begini kira-kira redaksi pesannya itu.


Mendapati itu, saya memastikan bahwa informasi itu adalah hoax alias tidak benar, dan meminta  warga yang ada di depan rumah untuk tidak memercayai itu. Kenapa sampai saya seyakin itu? Pertama, tidak ada kepastian lokasi asal bayi tersebut. Yang ke dua, penemptan waktu yang tidak menunjukan wilayah waktu daerah Indonesia bagian mana. Ke tiga, redaksi penutup pesan itu terlalu kejam, meminta setiap penerimahnya untuk membagikannya kembali kepada setiap 50 orang temannya, jika tidak maka akan berdosa dan mendapati musibah. Sepemahaman saya, Tuhan saja tidak pernah sekejam itu ketika memberikan wahyu kepada para Nabi.

Lantas, mengapa kabar ini membuat banyak warga, berbondong-bondong membeli telur dan merebusnya. Sementara, sejak awal Pemerintah melalui juru bicara untuk penanganan virus corona atau Covid-19, telah menyampaikan, bahwa cara yang paling ampuh saat ini untuk mencegah penyebaran virus corona adalah menerepkan social distancing dan mengarantinakan diri sendiri di rumah serta menjaga gaya hidup sehat.

Memang, memakan telur dapat bermanfaat untuk tubuh, namun tidak benar-benar ampuh untuk menangkal atau mengobati virus corona. Tapi baik lah, ini bukan tentang itu, tapi ini tentang bagaimana pesan itu dengan mudah kita percaya, ini soal bagaimana cara bermedia sosial kita yang  menyimpang dari kelaziman.

Di tengah derasnya arus informasi, inseden itu telah menunjukan bagaimana masyarakat kita telah dilanda paranoit secara massal oleh pandemi ini, masyarkat dengan mudah digegerkan oleh pesan-pesan yang tidak jelas sumbernya, horor dan bahkan mistis. Padahal, virus corona tidak sebercanda itu, virus corona notabenenya adalah domain parah ahli medis.

Kita tidak bisa pungkiri, semenjak era media sosial dimulai, orang Indonesia mendadak menjadi pakar, menjadi ahli, bahkan menjadi dukun yang suka mereka-reka sesuatu peristiwa. Padahal, ada banyak media legal yang memberitakan informasi virus corona. Namun kenapa link-link tersebut tak menjadi perhatian kita? Inilah dimana kemahiran bermedia sosial kita yang tidak diimbangi kemauan kita untuk membaca, kurangnya pemahaman literasi digital kita.

Kita lebih suka membagi sesuatu yang konyok, mistis, horor, yang notabennya praktis dan singkat. Padahal belum diketahui kebenarnya, bahkan tidak bisa dipertanggungjawabkan sama sekali. Kuncinya yang penting membagi dulu, setelah itu hapus postingan.

Saya kemudian membayangkan bagaimana jika redaksi pesan itu diganti, semisal dari makan sebutir telur menjadi meminum baigon atau pemutih baju agar terhindar dari pandemi virus corona. Saya tidak bisa bayangkan jika kemudia itu terjadi, berapa  korban yang aka ditimbulkan dari kepanikan pandemi itu.

Situasi itu, kemudian mengingatkan saya dengan pernyataan William G.Summer, bahwa opini publik adalah kekuatan yang ada dalam masyarakat. Yang dimana kekuatan tersebut bukan berasal dari pendapat perorangan, tetapi norma dan mitos yang ada dalam masyarakat tersebut. Sekaligus pengertian dari William ini menerangkan jika suatu pendapat dianut oleh banyak orang, maka diasumsikan jika pendapat tersebut benar. Keadaan semalam diakibatkan dari diri kita sendiri, yang memercayai mitos, bahkan mungkin hal-hal gaib. Dan kepercayaan itu dimainfatkan para peselancar media sosial, yang saya sebut kurang kerjaan yang memanfaatkan situasi rasa kehawatiran masyarakat dalam menghadapi virus corona.

Inilah yang kemudian setiap kita diharuskan selektif dalam menerimah informasi, apa lagi perkembangan media sosial seperti saat ini, menjadikan pula penyebaran informasi yang cepat, gratis dan mudah diterimah masyarakat. Setiap mereka yang ingin mengerjai kita, dengan mudahnya mereka dapat lakukan, kapan saja dan dimana saja.

Sebetulnya dilihat dari diksi yang digunakan hoax lebih menonjolkan kalimat-kalimat persuasif, seperti kejadian semalam. Terkadang juga memang hoax disertai dengan gambar atau bahkan data agar publik merasa diyakinkan dan diteguhkan. Menggiring opini publik pun bisa melalui rasa simpatik masyarakat, atau situasi ketidak pastian yang sedang melanda masyarakat. Dimana simpatik  secara psikologi merupakan situasi proses dimana seseorang merasa tertarik terhadap pihak lain, sehingga mampu merasakan apa yang dialami, dilakukan, dan diderita orang lain. Namun saat ini, rasa simpati dan kebimbangan masyarakat menhadapi pandemi corona dimanfaatkan tak selazimnya. Mereka telah menyalah kaprahkan rasa simparti dan kehawatiran masyarakat untuk menggiring opini dan subjektivitas masyarakat.

Untuk itu, setiap kita sebagai pengguna media sosial semestinya tidak mudah tersulut informasi hoax yang semakin hari semakin meraja lela, berpikir kritis juga sangat dibutuhkan di era ini. Dimana informasi sangat mudah didapat hanya dengan satu ketikan jari.    

Disisi lain, imsiden ini telah menunjukan buruknya sistem komunikasi pemerintah dalam memberikan pencerahan pada publik tentang apa yang sedang terjadi. Pemerintah gagal membangun kepercayaan publik, pemerintah gagal menggiring opini  yang mencerahkan. Di desa-desa, masyarakat hanya disogokan untuk mengisolasi diri, mengurangi perkumpulan, dan memberi maklumat untuk tidak membuat kegiatan yang bisa menghadirkan banyak orang.

Sementara, setiap harinya masyarakat menyaksikan siaran pemberitaan jumlah korban yang diakibatkan pandemi itu, setiap harinya mereka menyaksikan reportase para jurnalis telesvisi yang menyajikan tontonan  korban dari virus itu yang terus meningkat. Sehingga mengakibatkan paranoit, kehawatiran, dan kepanikan. Disitusia seperti ini membuat masyarakat dengan mudah memercaya informasi yang berkembang, termasuk arahan untuk makan satu butir telur oleh seorang bayi yang baru lahir.

Jika situasi ini terus terjadi, ekonomi bisa morosot, hilangnya  kepercayaan terhadap pemerintah, pelayanan sektor publik terganggu, hingga banyak aspek kehidupan tertaganggu.
   
Padahal keinginan masyarakat sangat sederhana, mendapatkan kepastian jika virus ini bisa teratasi. Menginginkan bencana ini segera berakhir dan dunia kembali tenang dan damai. Dan setiap kita bisa kembali beraktivitas seperti sediakalah.

0 Response to "Telur Tangkal Corona, Fakta Bermedia Sosial Kita Yang Menyimpang"

Post a Comment