Ulustrasi Berorganisasi. Foto : Istimewa |
Malam ini saya menerima telpon dari salah satu senior (nama disematkan). Sebenarnya senior ini menelpon tujuan utamanya bukan untuk berbicang dengan saya, ia menelpon salah seorang senior yang sedang bersama saya.
Setelah perbincangan mereka dirasa cukup, senior yang sedang menelpon itu menanyakan saya, lalu meminta untuk berbincang sebentar. Kepada saya senior itu menanyakan Hima Buteng, organisasi kedaerahan mahasiswa asal Buteng yang baru saja saya lepaskan sebagai ketua.
"Itu kenapa sampai Hima Buteng terpecah dua begitu?" tanya senior itu di balik telpon.
Di zaman seperti saat ini yang dipenuhi berbagai platfrom media sosial yang menjadi ruang berkomunikasi (Baca : Media komunikasi). Informasi begitu cepat meluas, setiap orang dengan mudah untuk mengonsumsinya. Urusan yang paling privat pun terkadang kita akan dapatkan di media sosial, apa lagi Hima Buteng, sedikit urusannya menyangkut publik. Ini bukan hal yang mengagetkan.
Mendengar pertanyaan senior ini, saya mencoba realistis dengan menjawab sekenanya. Bahwa, apa yang terjadi semestinya tidak menjadi sesuatu hal yang dihawatirkan, sependek pengetahuanku, ini hanya soal eksistensi.
"Iya bang, mungkin ruang yang teman-teman dapatkan sedikit atau kurang puas, sehingga teman-teman ini harus membuat yang baru. Tapi tidak masalah, ini hanya soal eksistensi, pada akhirnya siapa yang paling eksis dan yang paling kuat untuk bertahan dialah yang akan selalu berada di puncak. Biarlah teman-teman berproses dengan cara mereka sendiri," tuturku yang terdengar sok tegar.
Mendapati jawaban ini, senior itu menolak. Ia menganggap jawaban yang saya berikan itu bukanlah jawaban yang bijak.
"Itu bukan jawaban yang bijak dinda. Benar ini mungkin hanya dinamika, tapi terlalu sayang kalau dinamika seperti itu berkepanjangan. Komunikasikan baik-baik dinda, rangkullah mereka untuk tetap sama-sama eksiskan itu Hima Buteng," jelas senior itu setengah membujuk.
Perkataan senior ini mungkin ada benarnya. Terlalu sayang jika kita mesti berdinamika sesama kita. Akan banyak energi yang terbuang sia-sia yang mestinya itu bisa kita gunakan untuk hal-hal positif (bukan corona).
Dinamika yang tumbuh di internal hanya akan menghasilkan dua kemungkinan. Pertama, salah satu pihak akan terpental menjadi korban. Kedua, konsekuensi terburuknya adalah keduanya sama-sama terpental. Karena kompetisi sesungguhnya bukan sesama, melainkan organda sejawat, birokrasi yang bobrok dan lainya. Kita sibuk berdimaki sesama, sementara yang lain suda berlari sekencangnya, lantas jelas kita tertinggal jauh.
"Saya pun tidak menginginkan dinamika seperti ini. Kalau seandainya dinamika ini datang dari luar dengan senang hati saya akan meladeninya," gurutuku dalam hati.
**
Namun, dalam beberapa hal tiap orang mempunyai prinsip masing-masing, termasuk untuk tidak mentoreril hal-hal yang suda di luar kewajaran. Karena pada dasarnya kita tidak bisa mengatur bagaimana orang berkata terhadap kita, bagaimana orang berpikir tentang kita, bagaimana orang mau bersikap terhadap kita. Yang bisa kita atur bagaimana kita menyikapi perkataan orang tersebut, bagaimana kita menanggapi fikiran orang tersebut, bagaimana kita menanggapi sikap orang terhadap kita.
Kita hanya bisa seutuhnya mengendalikan diri kita, semisal berusaha memberikan yang terbaik untuk lembaga. Berusaha jujur pada setiap persoalan. Jika kemudian itu tidak mendapat tempat, it is oke. Kita bisa memberikan kebaikan itu pada orang-orang yang masi mahu menerimah itu.
Soal kerja-kerja organisasi adalah soal kerja team, kita tidak bisa ekslusif sendirian, kita tidak bisa merasa hebat sendirian. Ibarat sebuah organ tubuh, jika ada bagian tubuh yang rusak maka akan pincang. Begitu juga sebuah pohon, jika ada benalu yang menghinggapinya maka yakin saja perlahan dedaunannya perlahan akan berguguran, batangnya mengering, lalu tumbang.
***
Satu hal, Bangsa yang sudah parah dan bobrok dalam segala lini jangan lagi diperparah oleh kegiatan mahasiswa yang melulu untuk kekuasaan dan menguasai, apalagi untuk mengeruak uang receh dari para pejabat yang semestinya itu untuk masyarakat yang membutuhkan. Bangsa, daerah ini membutuhkan mahasiswa yang siap jadi martil demi martabat serta kesejahteraan masyarakat, daerah, bangsa dan negara.
Berdinamikalah untuk rakyat. Itikad itu tidak membutuhkan sebuah retorika, melainkan tindakan yang nyata. Berdinamika untuk rakyat bukan sebuah gambaran mahasiswa yang selalu mengatasnamakan masyarakat. Berdinamika untuk rakyat berarti berusaha untuk mengabdi kepada kepentingan kesejahteraan dan mencerdaskan publik. Bukan berdinamika untuk kepentingan pribadi.
Hanya satu pertanyaan yang sanggup terlontar, masikah mahasiswa memiliki niat dan komitmen dalam berlembaga untuk memperjuangkan kepentingan publik?
****
Di balik hendpon, senior itu meminta pamit untuk mengahiri pembicaraan, kemudian, tut, tut.
Buton Tengah, 8 Januari 2020
0 Response to "Meluruskan Niat Berorganisasi"
Post a Comment