Foto ; Amrin Lamena |
*
Keanekaragaman etnis dan budaya serta kepercayaan agama
yang dikandung bangsa ini, telah lama menjadi kekuatan yang memukau sekaligus
menjadi ketakutan tersendiri bagi kita. Beberapa pengalaman pahit dalam
perjalanan sejarah bangsa ini telah mengajari kita, bahwa doktrin “Bhineka
Tunggal Ika” bisa menjadi sesuatu yang menakutkan dan tidaklah sesuai dengan
realitas masyarakat kita hari ini. Dalam term kultur buton mungkin
inilah yang disinyalir sebagai politik bolimo karo
somanamo lipu. Padahal, pemahaman yang dalam terhadap kesadaran
multikulturalisme menjadi pondasi utama dalam menopang bangsa ini sehingga
tetap dalam frame ‘Negara-bangsa’ yang utuh, jika tidak maka boleh jadi
Indonesia akan bubar sebagai Negara dan bangsa.
**
Begitu pula
pada realitas hari ini Buton Tengah. Meskipun kita berada dalam rumpun yang sama, dan telah beberapa tahun terhitung menyatu dalam sistem administrasi wilayah yang sama, seakan masih
menyimpan “bara dalam sekam”, kita tak
bisa menutup mata bila kecederungan berbau ‘sektarian’ bahkan sampai pada
tingkat ‘rasis’ sebenarnya sering kali menggejala di masyarakat. Ditambah lagi
ancaman disintegrasi dengan motif agama.
***
Sejak dulu
telah menjadi rahasia umum, kalau beberapa konflik berbau sara di negeri ini,
lebih banyak dilatar belakangi oleh persoalan politik. Sehingga perlu untuk
senantiasa mendengungkan ‘kampanye politik etis’ yang tidak meninggalkan
idealisasi politik yang bermoral.
****
Buton Tengah, sebentar lagi akan merayakan pesta rakyat yakni Pemilihan Kepala Daerah yang akan dihelat
tahun ini sekaligus pilkada perdana bagi Buton Tengah setelah terpisa dari kabupaten induknya di tahun 2013 kemarin. Ini sungguh sebuah kebanggan sendiri, bisa ikut berpartisipasi dalam
merealisasikan konsepsi demokrasi dalam kehidupan bernegara. Tetapi juga kita
dibayangi ketakutan, apabila mengingat beberapa daerah yang telah melaksanakan
Pilkada serentak di 2015 kemarin, harus dicedarai oleh konflik ambisi para pendukung kandidat
masing-masing.
*****
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kita perlu
mengapresiasi pemerintah dan semua pihak yang telah memungkinkan
terselenggaranya pesta demokrasi ini. Optimisme masyarakat harus dibangun dan
bukan jadi "mainan" elite untuk bereksperimentasi demokrasi, bukan
alat propaganda pemerintah kepada dunia luar tentang betapa "majunya"
demokrasi di Indonesia, dan juga bukan melihat pilkada sebagai strategi elite
untuk mengalihkan perhatian publik dari krisis ekonomi, krisis moral dan keganjalan lainya kepada masalah-masalah
politik.
******
Beberapa hal ideal dari Pemilu langsung, dalam
realitasnya dihadapkan pada bias-bias dan distorsi praktik penyelenggaraan
Pemilu langsung. Pertama, kenyataan mengenai rendahnya tingkat partisipasi
masyarakat di beberapa daerah dalam Pilkada. Jumlah ‘golput’ yang cukup banyak
merupakan bukti kelelahan politik (political fatigue), kejenuhan, atau
karena munculnya kesadaran kritis masyarakat di daerah terhadap pesta demokrasi
di tengah-tengah kesulitan ekonomi yang akut. Kedua, adalah faktor klaim. Di bangsa ini bahkan dibuton tengah masih terlihat
jelas "garis-garis" pengelompokan sosial menurut tempat kelahiran,
kekerabatan, suku, dan agama/ ideologi. Eksklusivitas ini akan melahirkan
klaim-klaim yang dapat merugikan kelompok lain. Ketiga, tanpa adanya pengawasan
kuat dari DPRD, civil society dan pemerintah pusat, Kepala Daerah terpilih yang kurang memiliki moralitas dan self-control yang kuat cenderung akan
menyalahgunakan kekuasaan. Oligarki baru akan lahir atau menguat bila yang
terpilih adalah pejabat-pejabat lama. Keempat, Pilkada akan menyisakan
sakit hati kepada kelompok yang kalah atau tidak puas dalam pilkda tersebut. Untuk
menghindari konflik dan resistensi seharusnya ketika menjabat si pemenang harus
mampu merangkul pihak yang kalah untuk bersama-sama membangun daerah. Kelima, kepala daerah terpilih memperoleh mandat langsung dari rakyat untuk memerintah dan
membangun daerahnya. Amanat rakyat tersebut adalah tanggung jawab yang mestinya jangan disia-siakan.
*******
Kita berharap bahwa prosesi demokrasi yang sedang kita
jalani ini, semestinya diikhtiarkan untuk mencari formulasi terbaik dalam
mengatur masyarakat, mewujudkan pembangunan yang merata sesuai dengan apa yang menjadi tujuan besar dari pemekaran yang sudah diperjuangkan bersama-sama di 2013 silam. Bukan menyuburkan
konflik dan anasir-anasir yang sektarian dan cenderung mengarah kepada
destruktif. Tentu
kita harus belajar membahasakan secara universal perubahan yang kita kehendaki,
sehingga gagasan tersebut dapat mengena keseluruh aspek kehidupan, pada
akhirnya diharapkan implementasi dan realisasi.
********
Semua
itu memang bukan kerja mudah seperti membalikan telapak tangan. Namun dalam ikhtiar
perubahan tersebut, setidaknya senantiasa ada nilai yang akan selalu menjadi idealisme dari semua pihak dalam menorehkan karyanya untuk mewujudkan cita dan tujuan hadirnya Buton Tengah sebagai sebuah daerah yang otonom, yang mampu menjawab keluh kesah sebelumnya semasa masi tergabung dalam wilyah administrasi Kabupaten buton.
Salam Hangat, Salam Secangkir Kopi...
Untuk Buton Tengah yang Lebih Baik.
Serangkayan teks Kecil ini mungkin masi banyak terdapat kekurangan di dalamnya tapi itu sungguh manusiawi. Tak ada yang sia-sia sekalipun secuil dari pada tidak sama sekali, seperti yang dikisahkan seekor semut di saat Nabi Ibrahim dibakar Raja Namrud, seekor semut membawa setetes air.
Seekor burung kemudian bertanya, "untuk apa kamu bawa air itu?"
"Ini air untuk memadamkan api yang sedang membakar kekasih Tuhan, Ibrahim"
"hahaha, tak akan guna air yang kamu bawa itu"Kata Burung.
"Aku tahu tetapi dengan ini aku menegaskan dipihak manakah aku berada dan berpihak"
0 Response to "Menitih Pesan Menyongsong Pilkada Buton Tengah"
Post a Comment