HMI Di Era Disrupsi

Selamat datang di Era Disrupsi! 

Himpunan Mahasiswa Islam merupakan salah satu organisasi kemahasiswa eksternal kampus terbesar dan tertua di Bangsa ini. Selain dari segi umur yang semakin tua, HMI juga telah berkontribusi besar atas kemerdekaan bangsa Indonesia. Membaca sejarah HMI seperti memasuki satu oase perjalanan perjuangan kemerdekaan, karena sejarah HMI identik dengan sejarah bangsa.

Organisasi kemahasiswaan yang satu ini, telah bermetamorfosis menjadi satu organisasi sangat banyak menghasilkan kader yang kini menyebar keberbagai lembaga negara dan institusi swasta lainya, sehingga tak heran jejaring HMI koneksion telah menjadi perhatian serius dalam berbagai kontestasi politik. Kader HMI ditempa untuk menjadi kader siap berada disegala lini kehidupan, mereka mampu survivel dalam keadaan apapun dan dapat mengubah keadaan di bawah kontrol mereka.

Seiring perkembangan zaman dan diusianya yang semakin menua ini, HMI kini kian menunjukan kerentanannya. Kondisi demikian bukan lagi menjadi rahasia umum, kalau HMI tidak lagi begitu eksis, tidak lebi istimewa bila dibandingkan dengan organisasi lain jika dipandang dari segi pergerakannya. Dan hampir tidak ada lagi ciri khas yang menjadi pembeda antar kader HMI sebagai kader umat dan bangsa, dengan organisasi lainya dalam setiap platform gerakan yang dibangunya.

Nama besar dan kejayaan massa lalu HMI telah menjadi kekuatan yang memukai sekaligus menjadi ketakutan tersendiri bagi kita. Beberapa pengalaman pahit dalam perjalanan sejarah HMI sendiri telah mengajari kita, bahwa nama besar HMI telah menjadi daya tarik tersendiri bagi pemangku kekuasaan di negeri ini untuk selalu mendekati organisasi ini hingga tak jarang banyak kader dan anggota yang menempati struktural dalam organisasi besar ini terjerumus dalam lingkaran kekuasaan, yang tak ayal gerakan-gerakan yang dibangun HMI dengan mudah untuk diukur dan dihempaskan.

Begitu pula pada realitas internal HMI hari ini. Sekalipun sejak lama HMI dikenal sebagai lembaga pengkaderan yang memiliki tingkatan formal yang mungkin tidak ditemukan di organisasi kemahasiswaan lainya. Begitupun juga pada struktural kepengurusan yang terdiri dari tingkatan pusat, provinsi, kabupaten/kota hingga fakultas. Namun kita tidak bisa menutup mata bila kecenderungan gerak kader hingga para pengurus dari tingkat pusat sampai pada tataran komisariat tidak melulu berada dalam aturan main sebagaimana pedoman yang berlaku dalam tubuh HMI itu sendiri.

Sejak dulu telah menjadi rahasia umum, kalau beberapa konflik di tubuh himpunan ini, lebih banyak dilatar belakangi persoalan politik perebutan posisi dalam struktural HMI. Kondisi demikian tak ayal membuat HMI identik dengan sebutan dua lisme. Menempati posisi dalam struktural HMI menjadi kebanggaan tersendiri bagi kader-kader hijau hitam, sehingga tak jarang kualitas menjadi barang yang tidak penting. Senior-senior dalam tubuh himpunan pun acapkali mengabaikan itu dan sibuk berjudi dengan dinamika yang ia kendalikan.

Berkaca pada sejarah dan melihat kompleksnya tantangan zaman kedepan, HMI mestinya tidak lagi larut dalam romantika kejayaan massa lalu. Kini kita sedang diperhadapkam pada suatu fenomena yang mesti dijawab dengan sigap. Era disrupsi, sebuah fenomena dimana sedang terjadinya perubahan secara fundamental. Yaitu evolusi teknologi yang menyasar sebuah celah kehidupan manusia.

Digitalisasi adalah akibat dari evolusi teknologi (terutama informasi) yang mengubah hampir semua tatanan kehidupan, termasuk tatanan dalam berusaha. Era disrupsi ini merupakan fenomena ketika masyarakat menggeser aktivitas-aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata, ke dunia maya. Fenomena ini berkembang pada perubahan pola dunia bisnis. Kemunculan transportasi daring adalah salah satu dampaknya yang paling populer di Indonesia.

Disrupsi (disruption) istilah yang dipopulerkan oleh Clayton Christensen sebagai kelanjutan dari tradisi berpikir “harus berkompetisi, untuk bisa menang (for you to win, you’ve got to make somebody lose)”, ala Michael Porter. Kedua profesor selebritis Harvard Business School ini telah mendominasi dunai bisnis dalam 22-37 tahun terakhir.

Pergeseran segmen konsumen yang sebelumnya generasi X kini menjadi generasi milenial memerlukan pengembangan dari berbagai aspek termasuk layanan. Jika kita mengikuti perkembangan selama ini yang terjadi, kita akan menyadari kalau tanda-tanda perubahan tersebut sudah terbaca sejak beberapa tahun lalu.

Perubahannya sangat cepat. Disrupsi menginisiasi lahirnya model bisnis baru dengan strategi lebih inovatif kreatif.  Cakupan perubahannya luas mulai dari dunia bisnis, perbankan, transoprtasi, sosial masyarakat hingga pendidikan. Disrupsi juga tidak hanya terjadi di dunia digital. Era ini mengenai banyak pihak mulai dari anak-anak, mahasiswa, buruh, pemerintah, dan jajaran kelas atas. Dunia bisnis hingga hukum juga harus beradaptasi agar tidak ditinggal penggunanya.

Perubahan yang terjadi secara tiba-tiba dan dalam waktu yang singkat tersebut memang mengejutkan beragam pihak. Ada yang senang dan ada yang merasa terancam. Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang sebaiknya dilakukan?

Dalam dunia bisnis. Perusahaan dari segala jenjang dan industri perlu menerapkan teknologi baru guna menciptakan model-model bisnis canggih yang mampu menghadirkan nilai yang lebih besar bagi para pelanggan mereka karena ada lawan-lawan yang tidak kelihatan yang berusaha untuk menggeser kedudukan mereka.

Lawan-lawan tersebut tidak memiliki bentuk fisik yang sama dengan perusahaan-perusahaan yang besar, tetapi bisa menyaingi mereka. Dengan meluasnya gaya hidup digital, para konsumen kini dimanjakan dengan beragam pilihan dan memiliki ekspektasi yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya.

Di era disrupsi kita harus mempunyai pilihan, membentuk ulang (reshape) atau menciptakan yang baru (create). Jika kita memutuskan untuk reshape, maka kita bisa melakukan inovasi dari produk atau layanan yang sudah dimiliki. Sedangkan jika ingin membuat yang baru, kita harus berani memiliki inovasi yang sesuai dengan kebiasaan konsumen.

Memang terdengar klise, namun apabila kita dapat membaca situasi dengan baik kemudian melihat peluang yang ada, maka kitapun bisa bertahan di era disrupsi. Era disrupsi yang tengah kita alami ini, tidak bisa dihindari, tidak bisa lagi hanya menyalahkan keadaan tanpa merumuskan strategi untuk dapat bertahan, sehingga tetap keluar sebagai pemenang. Beberapa contoh bisnis yang menjadi korban disrupsi diantaranya adalah Kodak, Nokia, Mall dan Pusat Grosir atau Taxi Konvensional dan lain-lain.

Seorang pakar manajemen Rhenaldi Kasali menyarankan agar manajemen BUMN memperbanyak jumlah pegawai usia muda untuk menghadapi tantangan era disrupsi. Hal ini agar manajemen BUMN memiliki banyak talenta “pendobrak zona nyaman” yang sekaligus memahami trend teknologi baru. Karena orang muda itu yang biasanya menguasai teknologi terkini, tahan banting, kerjanya sampai malam dan masih semangat mengejar impian,” kata Rhenald.

Dari saran Rheinal tersebut, kita bisa memahi bahwa era disrupsi dan generasi Z, ibarat mata rantai yang tak terpisahkan. Kemunculan era disrupsi didukung oleh mayoritas generasi Z di dalamnya. Pun begitu, nyaris tidak ada generasi Z yang terlepas dari era disrupsi. Lalu apa hubungannya dengan HMI? Mungkinkah HMI terguras di era disrupsi?

Seperti kata Jenderal Soedirman, HMI adalah harapan masyarakat Indonesia. Untuk itu HMI Harus keluar dan berhenti berjudi dengan dinamika internal. HMI harus selesai dengan dirinya sendiri terlebidahulu lalu meretas kembali arah gerak perjuangan yang lebih inovatif, kreatif dan relefan dengan tuntutan zaman sebagai organisasi yang bertujuan "Terbinahnya Insan akademis pencipta pengabdi yang bernafaskan Islam serta bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT".

HMI sebagai oraganisasi kaderisasi yamg nota benenya kini diisi para generasi Z.HMI harus siap menghadapi era disrupsi dengan mendorong kader-kadernya memiliki etos kerja, sikap terbuka, serta mampu menjadi problema solving untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang semakin kompleks dan berubah dengan cepat di bangsa ini.

Pasca reformasi, kader HMI khususya yang jauh dari ibu kota cenderung ke wilayah politik. Kecenderungan itu menjadi pisau bermata dua, bisa menjadi kekuatan, bisa juga jadi kelemahan. Sudah sedikit sekali kader HMI yang memilih menjadi akademisi sebagai jalan pengabdian sebagai tanggung jawab kebangsaan yang berhubungan langsung dengan tujuan HMI.

Seperti yang digambarkan sebelumnya di atas, yang menjadi broblem salah satunya berhubungan dengan kemandirian HMI dari sisi pembiayaan Organisasi atau kemandirian kader secara individu. Sehingga banyak kader dan anggota terjerumus dalam pusaran kekuasaan.

Kader HMI agar tidak terperangkap dengan kejayaan masa lalu. Jangan sampai  organisasi ini menjadi Lazy Organization ataupun Zombi Organization karena tidak tanggap dengan perubahan. Situasi di mana pergeseran persaingan perekrutan kader atau persaingan kerja tidak lagi linear hingga perlu menciptakan kader-kader yang inovatif dan kreatif.

Era ini akan menuntut kita untuk berubah atau punah. Berinovasi atau tertinggal. Tidak diragukan lagi disrupsi akan mendorong terjadinya digitalisasi pada lini kehidupan manusia. Munculnya inovasi aplikasi teknologi seperti Uber atau Gojek, Grab dan lain-lain akan menginspirasi lahirnya aplikasi sejenis di bidang lainya.

Peran dan fungsi HMI pada era digital ini tentu berbeda bila dibandingkan HMI di masa lalu. Kini kader-kader HMI tidak mungkin mampu bersaing dengan mesin dalam hal melaksanakan pekerjaan hafalan, hitungan, hingga pencarian sumber informasi. Mesin jauh lebih cerdas, berpengetahuan dan efektif dibandingkan kita karena tidak pernah lelah melaksanakan tugas.

Karena itu fungsi dan peran HMI bergeser lebih menitik beratkan mengajarkan nilai-nilai etika, budaya, karakter, kebijaksanaan, pengalaman hingga empati sosial karena nilai-nilai itu yang tidak dapat diajarkan oleh mesin. Pertanyaannya adalah, apakah para kader-kader
HMI saat ini telah disiapkan untuk menghadapi perubahan peran ini?

Hal ini bukan hanya persoalan mengganti kelas pengkaderan dari tatap muka konvensional menjadi kelas dunia maya. Namun yang lebih penting adalah revolusi peran pengkaderan sebagai sumber pembelajaran atau transformasi pengetahuan yang utuh menjadi mentor, fasilitator, motivator, bahkan inspirator dalam mengembangkan imajinasi, kreativitas, karakter serta team work para kader sebagai generasi muda yang dibutuhkan pada masa depan.

Disrupsi sering dianggap ancaman, tanpa kita sadari kalau teknologi telah mengubah banyak hal. Seperti yang dituturkan Abdul Wahid Maktub, Staff Khusus Kemenristekdikti, salah satu cara menghadapi derasnya era disrupsi adalah dengan mencintai ilmu pengetahuan. Tidak ada pembaharuan jika tanpa dasar ilmu yang kuat. Selain ilmu, perlu juga adanya kolaborasi dengan iman kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan amal. Ketiga hal ini harus dilakukan dengan proporsi seimbang layaknya segitiga sama sisi. “Dengan ilmu semua menjadi mudah, tapi dengan agama menjadi terarah. Orang pintar tanpa Tuhan itu berbahaya. Sekarang juga tidak bisa lagi single fighter, perlu kolaborasi. Nantinya hubungan itu ada konflik, konsensus, dan sinergi. Tergantung bagaimana kita memanfaatkannya," kata Abdul Wahid.

Nila-nilai dasar perjuangan (NDP) HMI yang dirangkai dalam tiga insan kualitas Iman Ilmu Amal menjadi barang penting untuk dilihat kembali lalu memastikan hal tersebut suda dijalankan dengan baik oleh kader-kader HMI. Karena NDP menjadi titik tumpuan perjuangan kader seperti yang diharapkan oleh para pendiri HMI menjadi kader umat dan bangsa.

Kader HMI tedak perlu memandang disrupsi sebagai ancaman, disrupsi yang menglahirkan marketplace justru harus dipandang sebagai peluang bisnis untuk mengentaskan masalah pendanaan organisasi atau justru melahirkan kemandirian kader secara individu agar tetap lantang bersuara tanpa harus memandang bulu karena merasa berutang budi pada sasaran karena turut membantu pelaksanaan program organisasi. Dengan begitu, idealisme akan tetap melekat secara etis maupun secara organisatoris pada tiap diri kader HMI.

Di bidang pendidikan HMI sebagai organisasi perjuangan yang melekat pada tujuan HMI sebagai insan akademis bisa menginisiasi lahirnya sekolah-sekolah kreatif yang lebih edukatif, adaptif dan partisipatif dengan mengkolaborasikan teknologi modern dengan sistem pendidikan yang dicanamkan oleh KH. Dewantara.

Perubahan akibat teknologi ini tengah terjadi serempak di seluruh dunia, mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia seperti pendidikan dan gaya hidup sampai model kepemimpinan. Kader HMI harus lebih siap mengahadapi era disrupsi ini, menyelesaikan problom di internal, dan mempersiapkan kader-kader HMI sebagai leadership di masa depan.

Digital leadership merupakan model kepemimpinan baru yang berkembang dalam era disrupsi. Selain itu, keberanian untuk berinvestasi di teknologi terbaru dan sistem kepemimpinan yang juga menyesuaikan kondisi jaman menjadi faktor penting bagi kader HMI sebagai generasi muda dalam menghadapi tantangan di era disrupsi.
Kader HMI, tak cukup dengan lantang. Iman Ilmu Amal harus benar-benar dipastikan suda dimiliki oleh setiap kadernya.

Jadilah generasi era disrupsi yang kreatif dan inovatif !

0 Response to "HMI Di Era Disrupsi"

Post a Comment