Sumber : merahputih.blogspot.com |
Apa yang berlalu dipikiran kita saat mendengar kata gizi? Boleh jadi jargon populer “empar Sehat lima Sempurna,” tiba-tiba terlintas. Mulai dari nasi, ikan, sayuran, buah, dan susu adalah makanan yang mengandung zat untuk pertumbuhan dan kesehatan tubuh.
Tak perlu berdebat panjang, niscaya setiap orang yang sejak dini konsisten menyeimbangkan jenis makanan bergizi, akan terjaga dari penyakit hingga dewasa. Sementara sebaliknya, hambatan pertumbuhan berupa kurang gizi bahkan kelebihan gizi (obesitas) sejak balita akan berpengaruh pada perkembangan fisik maupun mental sampai dewasa.
Mungkinkah negeri yang berada dalam belahan bumi yang subur ini dilanda kurang gizi? Mungkin saja jika kita benar-benar mengabaikan apa yang kita konsumsi. Baiklah, saya tidak ingin berlama-lama bicara soal itu, karena ini bukan tentang itu, ini soal sajian yang kita peroleh akhir-akhir ini pada layar gatget kita yang tiap harinya menjadi salah satu sumber asupan gizi.
Gatget yang menjadi salah satu jendela untuk melihat dunia kini tak lagi terkalahkan. Dunia dalam genggaman. Kira-kira begitu jika menggambarkan fenomena yang melanda diseluru belahan bumi saat ini tak terkecuali Indonesia yang terdiri dari pulau dan daerah pelosok.
Ya. Sajian informasi kini tak lagi mengenal letak geografis, usiah dan sebagainya. Semua bisa mengaksesnya, mengonsumsinya bagai makanan pokok yang telah menjadi kebutuhan utama.
Ini adalah soal fenomena yang akhir-akhir ini mendadak meyerang seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa ini. Soal sajian informasi yang mendadak tak bergizi dan sayangnya sangat mudah dicerna mentah-mentah layaknya mie instan. Tak cukup dikonsumsi sendiri informasi itu dibagikan kepada orang-orang bak makanan yang tak diinginkan untuk berlama-lama dan mubazir.
Menjelang perhelatan pemilu 2019, informasi tak bergizi di kanal-kanal media sosial seperti pemberitaan kebohongan, cibiran sampai yang fitnah dengan gampang kita temui dan disebarluaskan oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Sayangnya gerakan penyebaran informasi sesat dan hoaks itu begitu masif bak tak terbendung lagi.
Masifnya penyeberan informasi hoaks ini tidak hanya disebabkan sikap masyarakat kita yang cenderung konsumtif dengan segala sesuatu tanpa mencari kebenaranya terlebih dahulu. Selain itu gerakan terkoordinir itu justru ditopang oleh orang-orang yang tercerahkan, intelijen politik yang menjadi konsultan para politikus. Ya, mereka adalah orang-orang yang cerdas membaca situasi, mengakumulasikan semua bahan-bahan lalu dijadikan sebagai konten untuk menyeramg lawan.
Hingga saat ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sedikitnya telah menemukan lebih dari 1.000 konten di dunia maya yang diduga sebagai informasi atau kabar bohong alias hoax terkait Pemilihan legislatif dan Pilpres 2019. Kabar itu sebagaimana keterangan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Humas Kominfo Ferdinandus Setu disalah satu media online.
Salah satu kasus berita hoaks yang menghebohkan adalah tentang isu penganiayaan Ratna Sarumpaet. Ratna Sarumpaet adalah sesosok Wanita kelahiran Tarutung, Tapanuli Utara, pada 16 Juli 1949. Ratna juga adalah seorang seniman berkebangsaan Indonesia yang banyak mengeluti dunia panggung teater, juga sebagai aktivis organisasi sosial.
Wanita yang terkenal dengan pementasan monolog Marsinah Menggugat, yang banyak dicekal di sejumlah daerah pada era administrasi Orde baru ini harus diringkus kepolisian akibat kebohongannya yang sempat menghiasi dinding-dinding media sosial.
Terbongkarnya kebohongan Ratna Sarumpeat menjadi jelas menggambarkan bagaimana citra politik kita saat ini. Citra politik kita adalah membrending isu untuk saling menjatuhkan bukan beradu gagasan melihat bangsa ini dimasa depan. Maka menjadi benar politik Maciavelia, bahwa politik adalah alat untuk merebut dan mempertahankan kekuasan dengan tanpa pertimbangan hati nurani, menghalalkan segala cara untuk meraih tampung kekuasaan adalah satu-satunya tujuan.
Salah satu faktor lain yang menjadi pendukung tersebarnya informasi hoaks bagaikan jamur di musim hujan ini adalah media. Media yang diharapkan dapat menjadi penerang dikala gelap justru menerimah menta-mentah isu yang berkembang tanpa mencari tau fakta-fakta lain sebagai penunjang pemberitaan.
informasi saat ini begitu cepat berkembang seiring proses globalisasi yang membuat konektivitas antar individu terhubung lebih muda secara real time di segala sendi kehidupan. Semakin kompleks masyarakat, makan akan semakin besar kebutuhan atas perubahan informasi.
Kondisi saat ini perlu ada langkah-langkah serius yang mesti ditempu oleh semua pihak, tidak hanya intelijen negara atau kementrian kominfo dengan memblokir situs-situs penyebar informasi hoaks. Minimal ada sajian yang bergizi sebagai tandingan sajian informasi hoaks dan menyesatkan.
Setidaknya di bangsa ini banyak insan akademis yang bisa menjadi setitik embun penyejuk di tengah sahara ataupun menjadai lentera penerang dikala kegelapan melanda.
Kita punya guru-guru, kita punya dosen-dosen yang bahkan kaya akan gelar akademis. Mestinya mereka harus didorong untuk menguasai gatget dan tidak ketinggalan zaman. Mereka harus produktif dalam menulis ala zaman now di kolom-kolom berita, blog, atau cukup di branda media sosial yang dimiliki dengan menyajikan teks-teks yang bergizi sebagai tandingan media, situs, dan akun-akun dari cebong dan kampret.
Seperti yang pernah disampaikan almarhum Mas Hernowo Hasim, penulis buku-buku best seller. Saat membawakan kuliah dering Via online di grub Whatsaap Ode Literasi. Ia menyebutkan "Pada dasarnya manusia di bentuk atas dua unsur. Jasmani dan ruhania, yang keduanya butuh suplai makanan yang bergizi agar keduannya tumbuh sehat dan berkembang". Jika ada makanan bergizi, tentu ada teks bergizi. Makanan bergizi dapat menyehatkan tubuh, teks bergizi dapat “menyehatkan” pikiran. Menyehatkan pikiran yang berarti dapat menumbuh kembangkan pikiran secara otomatis.
Saat ini media sosial telah menjadi kekuatan baru yang memberikan pengaruh besar terhadap masyarakat, khususya pemuda yang menajadi konsumen utama. Tanpa meminggirkan sisi negatifnya, media sosial dapat dimanfatkan untuk bersosialisasi berbagai hal positif, menyebarkan informasi penting, dan pendidikan politik.
Apa pun alasannya, kebohongan tidak akan pernah berbuah kebaikan. Pendiri Kompas, Jakob Oetama, pernah mengatakan, "kita tidak butuh orang pintar, tetapi kita butuh orang jujur." Suda saatnya guru-guru, para dosen dan semua pihak untuk mengambil peran, menyajikan teks-teks bergizi di dinding media sosial yang dimiliki untuk memerangi informasi sesat dan kampanye yang tidak menyehatkan.
Suda saatnya memanfaatkan kekuatan media sosial untuk menyajikan konten-konten yang menyehatkan sebagai perlawanan pada konten-konten yang kurang gizi biar generasi terhindar dari bahaya gizi buruk.
Baubau, 23 Oktober 2018
0 Response to "Melawan Serangan Gizi Buruk"
Post a Comment