Ibu Wa Ode Rama Pengolah Rumput Laut |
Sangiawambulu merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Buton Tengah. Sepintas kecamatan ini seperti di karuniai khusus sang pencipta dengan sumber daya alamnya yang subur juga manusianya yang tak pernah kehabisan inovatif.
Seperti halnya di Baruta Analalaki. Di Doda Bahari juga ada kelompok ibu-ibu yang tak kalah inovatifnya. Saat berkunjung disana, kelompok ibu-ibu kece itu tengah membuat stik karang, jenis kue kering khas Desa Doda Bahari yang diolah dari bahan dasar rumput laut agar-agar.
Dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii, kelompok ibu-ibu di desa Doda Bahari ini bisa menghasilkan olahan makanan yang renyah dan lenjat. Selain stik karanag yang menyerupai batu karang Acropora Elegantula, ibu-ibu ini juga mengolah beberapa jenis makanan berfariasi seperti dodol, mie, nangget, bakso, dan beberapa hasil olahan lainnya.
Saya hampir lupa, ada juga bubur dari rumput laut, sepintas bubur itu serupa papeda makanan khas Papua. Bedanya, papeda ala Papua diolah dari bahan dasar sagu, sementara ibu-ibu di Doda Bahari ini tidak sama sekali menggunakan sagu.
Semua jenis makanan itu berbahan dasar rumput laut yang diolah dengan berbagai jenis campuran seperti tepung terigu, telur ayam, dan bumbu masakan lainya yang disesuaikan dengan selera.
Seperti manisan, kata ibu Wa Ode Rama salah seorang yang menerima kedatangan kami bersama Tim Pengembangan Inovasi Desa Kecamatan Sangiawambulu, menceritakan farian rasa dari manisan yang diolahnya. Dari rasa nenas, mangga dan rasa lainya. Kata ibu itu tergantung selerah. Tapi bagi ibu Wa Ode sendiri lebih doyan manisan rasa nenas.
Inovasi yang sedang dikembangkan oleh ibu-ibu di Desa Doda Bahari itu, bukan tanpa sebab. Selama ini rumput laut menjadi salah satu komoditi andalan masyarakat di Kabupaten Buton Tengah tak terkecuali di Desa Doda Bahari.
Namun tak menentunya harga jual rumput laut setengah jadi (kering) terkadang anjlok hingga tak jarang para petani rumput laut harus terpaksa menjual rumput lautnya dengan harga rendah yang mengharuskan para petani ini mengalami kerugian.
Di Beberapa desa di Buton Tengah, tak menentunnya harga jual rumput laut kering tersebut membuat banyak para petani harus gulung tikar, banyak suami beralih profesi, bahkan merantau mencari pekerjaan di daerah orang dan menyisakan anak istrinya di kampung halaman.
Gambaran itu masi saya dapatkan di kampung. Di awal tahun 2000an masi banyak para petani rumput laut, namun kedaan itu serta mulai tak sehatnya perairan laut disana memaksa mereka untuk meninggalkan profesi yang ditekuni sejak lama itu. Aktifitas mengikat agar-agar, mengantar hasil jemuran rumput laut hampir tidak ditemukan lagi disana.
Kondisi tersebut, seperti tak terjadi disini. Di pinggir pesisir selat Buton masi terdapat jejeran tali temali yang memanjang mengikat agar-agar. Masi menghiasi dan tumbuh subur di Desa Doda Bahari.
Tak menentunya harga rumput laut itu, justru mengilhami para ibu-ibu rumah tangga di Desa Doda Bahari. Anjloknyaa harga rumput laut itu telah memaksa sebagian ibu-ibu ini memutar otak mencari alternatif untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka tanpa harus meninggalkan kampung halaman.
Tak tanggung-tanggung, keadaan yang memberatkan itu, telah mendorong ibu-ibu ini mencari alternatif hingga akhirnya pada tahun 2015 lalu mereka menemukan sebuah inovasi pengolahan rumput laut hingga menghasilkan berbagai macam makanan sehat yang memiliki farian rasa dan beragam jenis.
Menurut cerita dari Ibu Wa Ode, hasil olahan dari rumput laut yang sedang ia kebangkan bersama ibu-ibu di desa itu memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi ketimbang harga jual rumput laut (kering) setengah jadi yang dijual pada pengumpul.
Bayangkan saja, harga perkilogram rumput laut yang suda dikeringkan yang dijual kepada mengumpul kadang hanya senilai 11 ribu rupiah. Sementara olahan dari rumput laut kering dengan ukuran satu mangkok bisa menghasilkan satu kemasan besar stik karang dengan harga 20 ribu rupiah.
Jika satu kilogram rumput laut kering itu diolah menjadi stik karang maka akan menghasilakan tiga hingga empat kemasan besar. Jika dirupiakan, akan mencapai 60 ribuh hingga 80 ribu rupiah. Harga yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan harga yang mereka peroleh ketika para petani rumput laut menjualnya ke pengumpul.
Kelompok Pengolah Lumput Laut bersama TPID Kec. Sangiawambulu |
Keuntungan yang mereka peroleh dua kali lipat. Dari inovasi ibu-ibu ini setidaknya suda memberi mereka dua alternatif. Jika sewaktu-waktu harga rumput laut anjlok ibu-ibu ini tidak perlu lagi kebingungan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Ibu-ibu kece ini bisa langsung beralih mengolah rumput laut produksi mereka menjadi berbagai jenis makanan dan dipasarkan sendiri.
Melihat semangat inovasi dari ibu-ibu di Doda Bahari ini. Saya teringat dengan seorang pakar ekonom Reynald Kasali. Dalam bukunya Disruption, Reynald mengungkapkan, bahwa di era disrupsi ini seringkali perubahan terjadi secara cepat yang membutukan kemampuan berinovasi untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan tersebut.
Di era disrupsi kita mempunyai pilihan, membentuk ulang (reshape) atau menciptakan yang baru (create). Jika kita memutuskan untuk reshape, maka kita bisa melakukan inovasi dari produk atau layanan yang sudah dimiliki. Sedangkan jika ingin membuat yang baru, kita harus berani memiliki inovasi yang sesuai dengan kebiasaan konsumen.
Masi Reynald, bukan disprupsi namanya jika produk yang dihasilkan tidak lebih efisien, praktis dan bernilai lebih besar. Dan ibu-ibu di Desa Doda Bahari ini telah menujukan itu. Mereka telah meredupsi produk rumput laut yang biasanya dijual setengah jadi dengan nilai ekonomi yang sedikit hingga hasilkan inovasi olahan dari rumput laut yang menghadirkan nilai ekonomi yang lebih besar.
Dari keterangan ibu Wa Ode. Hasil produk olahan Ibu-ibu di Doda Bahari itu kini pemasaranya masi seputaran di Dearah Buton Tengah dan Kota Baubau yang dititipkan disetiap kios-kios kenalan mereka.
Padahal dalam dunia bisnis. Di era disrupsi ini perusahaan dari segala jenjang dan industri perlu menerapkan teknologi baru guna menciptakan model-model bisnis canggih dan penerapan pemasan yang tepat yang mampu menghadirkan nilai yang lebih besar dan memudahkan para pelanggan mengenali produk-produk mereka.
Pada posisi ini, ibu-ibu di Doda Bahari itu mengaku masi kesulitan memasarkan hasil produknya dikarenakan ketidaktauan mereka soal branding dan pelabelan pada kemasan produk yang mereka hasilkan. Setidaknya dari branding dan pelabelan kemasan itu bisa menjadi ciri khas dari produk yang di hasilkan oleh ibu-ibu itu sehingga lebih muda dikenali oleh konsumennya.
Dengan meluasnya gaya hidup digital, para konsumen kini dimanjakan dengan beragam pilihan dan memiliki ekspektasi yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Posisi branding dan pelabelan pada produk memang kini menjadi hal penting yang dapat memengaruhi minat dan daya beli konsumen pada produk tertentu.
Produk olahan dari ibu-ibu Doda Bahari itu perlu mendapat perhatian serius. Setidaknya Doda Bahari dapat di dorong sebagai lokasi wisata kuliner oleh pemerintah desa maupun Pemerintah kabupaten Buton Tengah. Apa lagi kondisi kekinian dengan kemajuan tekhnologi informasi telah mempengaruhi gaya hidup manusia di zaman ini.
Kata Reinald, Manusia di zaman ini gelisah, bukan karena hal-hal riil seperti generasi sebelumnya, yang dibesarkan di lapangan nyata, dengan bermain ayunan, bola kasti dan gobak sodor. Kata dia, “Manusia baru” atau kids zaman now yang hari-hari mencari sesuati yang baru, berbeda dan unik hanya untuk memperoleh pengakuan, bahwa ia pernah berkunjung di tempat itu atau sekedar menunjukan pernah merasakaan olahan makanan kas aderah terntu.
Daya promosi juga harus didobrak oleh semua pihak. Hal itu untuk menarik perhatian manusi-manusia cyber yang hari-hari mengisi perekonomian saat ini. Kata Raynal, begitulah "Esteem Economy", memanfaatkan aktifitas orang-orang yang haus pengakuan di dunia maya dengan menyediakan sarana yang menarik dan langkah.
Semoga ibu-ibu di Desa Doda Bahari itu segera menemukan solusi dan inovasi baru untuk membranding hasil olahan rumput laut mereka.
Buton Tengah, 25 November 2018
0 Response to "Doda Bahari, Ketika Cobaan Menjadi Kekuatan (Sangiawambulu Part. 2)"
Post a Comment