Ibu Sumarlina, Foto : Amrin Lamena |
Ketika berkunjung di kampung-kampung, ada banyak hal-hal sederhana dan unik yang bisa kita saksikan dari kehidupan masyarakatnya. Mulai dari cara mereka untuk bertahan hidup, hingga hal-hal yang kita anggap sepeleh menjadi sebuah penghasilan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.
Begitu pula saat bergunjung disini. Bagis saya, ini adalah momen sehari yang menabjubkan. Bisa berkunjung di Kecamatan Sangiawambulu, salah satu kecamatan di Kabupaten Buton Tengah yang berada di bagian timur yang berbatasan langsung dengan selat Buton. Bisa bertemu dan bercerita lepas dengan masyarakatnya yang inovatif.
Di Desa Baruta Analalaki, saya bertemu dengan ibu Sumarlina, salah seorang ibu rumah tangga yang tiap harinya menghabiskan waktu memanfaatkan barang bekas plastik sisah kemasan minuman teh gelas dan ale-ale menjadi sebuah kerajinan tangan yang unik.
"Bahan dasarnya dari gelas plastik teh gelas dan ale-ale yang saya kumpulkan dari sisa minuman yang suda dibuang orang-orang," ucapnya
Dari bahan dasar sampah plastik teh gelas dan ale-ale itu, ibu Sumarlina kemudian mengelolanya menjadi berbagai macam fariasi kerajinan tangan yang menghasilkan puluhan rupiah.
"Beragam, bisa jadi penutup saji, ada juga tempat akua gelas, tempat tisu, ada juga tas. Harganya juga berfariasi, kalau penutup saji Rp.500 ribuh kalau yang lainnya lebih murah Rp.50 ribuh. Tergantung besar kecil dan tingakatan kerumitannya," jelasnya lagi.
Saat bersama ibu Sumarlina |
Bagi ibu Sumarlina, ketimbang menghabiskan waktu hanya duduk dan menunggu gaji bulanan dari sangk suami, akan lebih baik jika mencari kesibukan yang bisa membantu meringankan beban kebutuhan keluarganya.
Semenjak tiga tahun lalu ibu Sumarlina mencoba memanfaatkan limba plastik dari kemasan teh gelas dan ale-ale yang ia fariasikan dengan bahan-bahan lain yang diperolehnya dari toko seperti benang kawat yang mempercantik hasil kerajinan tangangannya yang berbahan dasar barang bekas itu.
Meski ibu Sumarlina kini suda memetik hasil dari kerajinan tangannya itu, namun ibu Sumarlina sendiri akui kalau hasil kerajinan tangann yang ia hasilkan itu, saat ini masi susah untuk memasarkannya. Terkadang ia harus memasarkannya sampai Mawasangka bahkan harus mengirimnya di Kabupaten Wakatobi untuk dipasarkan disana lewat saudaranya.
Sekalipun demikian, ibu Sumarlina tak pantang menyerah, ia tetap mengumpulkan plastik dari teh gelas dan ale-ale sebagai persiapannya kalau-kalau ada yang datang ke rumahnya memesan untuk di buatkan tempat tisu, tas ataupun penutup saji.
Ibu Sumarlina. |
Di kediamannya, selain membuat kerajinan tangan dari plastik teh gelas dan ale-ale. Ibu Sumarlina bersama ibunya, dengan keahlian yang mereka miliki. Keduanya juga membuat berbagai macam aksesoris dari bahan dasar kain bermotif khas Buton seperti kampurui, kemeja kantoran yang bermotif Buton sampai pakayan adat yang acap kali dipakai orang-orang Buton disetiap pagaleran budayan seperti pingitan, baju pengantin hingga pakayan parabela.
Beruntungnya, saat saya bersama tim pengembangan inovasi desa Kecamatan Sangiawambulu berkunjung di kediaman ibu Sumarlina, mereka tengah menyelesaikan pesanan orang. Sehingga kami bisa menyaksikan langsung cara pembuatan kerajinan yang mereka hasilkan.
Ibu Sumarlina yang tengah menyelesaikan satu buah tas, saling melekatkan bagian demi bagian hingga membentuk tas. Sementara di bagian sisi lain rumah itu, (nenek) panggilan akrab ibu dari Sumarlin a tengah mengayun roda mesin jahitnya menyelesaikan baju PDH karangtarunan desa setempat yang di desain bermotiv Kebutonan.
Tak salah lagi, kerejaninan yang mereka hasilkan benar-benar keren dan cantik. Saya pun tak ingin melewatkan momen itu, mencoba memakai kampurui yang sementara digelantungkan di dinding rumah. Ukurannya pas dan melekat di kepala. Sayangnya saya tidak membawa uang yang cukup untuk membelinya. Ya suda, mungkin saya belum berjodoh dengan kampurui itu.
Kampurui adalah salah satu aksesoris yang dililit di kepala seperti menyerupai blangko yang biasa dipakai masyarkat Jawa. Kampurui adalah salah satu aksesoris buat laki-laki pilihan para pemangku kebijakan di zaman kesultanan Buton.
Kampurui adalah salah satu aksesoris yang dililit di kepala seperti menyerupai blangko yang biasa dipakai masyarkat Jawa. Kampurui adalah salah satu aksesoris buat laki-laki pilihan para pemangku kebijakan di zaman kesultanan Buton.
Melihat keahlian ibu Sumarlina itu, kemudian saya berpikir sejenak, tidak menuntut kemungkinan di luar sana masi ada ibu Sumarlina lainnya yang belum kita ketahui.
Ya. Tidak menuntut kemungkinan masih banyak mozaik-mozaik yang dimiliki daerah ini yang masi belum tereksplos, sama halnya dengan ibu Sumarlina yang belum tersentuh sehingga masi susah untuk memperkenalkan produknya pada dunia luar.
Ibu Sumarlina, dengan tangannya telah mengajarkan kita bagaimana seharusnya memainfaatkan barang-barang bekas yang mungkin sebagaian orang menganggapnya sebagai sampah yang tak memiliki nilai. Tapi bagi ibu Sumarlina, barang bekas bisa disulapnya menjadi sebuah aksesoris perabotan rumah tangga hingga tas sebagai fesion yang akan menambah keanggunan seorang wanita ketika mengahadiri undangan pernikahan atau menghadiri acara keramaian lainya.
Buton Tengah, 24 November 2018
0 Response to "Sumarlina; Barang Bekas Hingga Jadi Rupiah (Sangiawambulu, Part 1)"
Post a Comment