Sumber Foto. Islampos.com |
Oleh : La Ode Gusman Nasiru
Tim Lindsey, profesor hukum dari Universitas Melbourne, berkata bahwa Islam radikal macam Hizbut Tahrir atau Majelis Mujahidin Indonesia di Jawa tidak mungkin tumbuh di Aceh. Tesis itu direspons Linda Christanty, selanjutnya disebut Linda, dengan kalimat “Konservatif ya, tapi menjadi radikal tidak.”
Alinea introduksi yang saya terakan di atas bisa ditemukan pada artikel bertajuk Ketika Pertama ke Aceh, sebuah laporan singkat yang terhimpun dalam Hikayat Kebo, Januari 2019. Di situ, Linda sedikitnya menyampaikan tiga judul yang ia rangkum dari perjalanannya ke Aceh dalam beberapa tempo. Sehimpunan liputan jurnalistik yang dikemas intim. Gerbang memasuki secuil dinamika masyarakat tempat beberapa riwayat pertempuran besar pernah terjadi.
Anda tidak boleh melupakan pasukan Inong Balee di bawah telunjuk Keumalahayati. Pun Cut Nyak Dhien yang gagah berani.
Saya berkepentingan meninjau interaksi Islam dan kedigdayaan Aceh yang saling mengikat dan melahirkan sehimpun kesadaran masyarakat yang islami. Kecuali Aceh, tidak satu pun daerah di wilayah Republik Indonesia yang diberi kesempatan menjalankan independensi pemerintahannya berdasarkan syariat Islam. Fakta ini penting ditelisik untuk melihat seberapa berhasil qanun-qanun di Tanah Rencong diterapkan, misalnya.
Dari situ kita berangkat menuju medan diskusi yang lebih luas demi menelaah seberapa penting tauhid diterapkan menjadi dasar kedaulatan NKRI. Mengingat beberapa kelompok massa yang mengatasnamakan Islam sebagai asas pergerakannya—salah satunya FPI—gemar meneriakkan cita-cita utopis penerapan syariat sebagai filsafat bagi keutuhan wilayah dan politis bumi nusantara. Perbincangan tentang FPI selanjutnya mengerucut pada Rizieq Shihab. Kita sebut ia Rizieq, yang diaku sebagai imam besar.
Siapa Rizieq?
Saya cukup terkesan dengan upaya Denny JA yang repot menjabarkan koreksinya terkait teriakan Rizieq di panggung-panggung demonstrasi: Tegakkan NKRI bersyariah! Sebuah gairah dengan diferensiasi menukik dengan ideologi yang selama ini telah disepakati.
Pancasila adalah fondasi bagi segala pranata dan pandangan politik di bumi khatulistiwa. Itu mutlak. Secara menyeluruh ia merayakan diversitas melalui semboyan yang tegas berbunyi Bhineka Tunggal Ika.
Apa yang didesakkan Rizieq dalam forum dan majelis rasanya cukup adil diperhadapkan dengan kenyataan sosial di Aceh. Perkara syariat diadaptasi sebagai sistem kultural masyarakat untuk dijadikan pilar yang menopang sendi hampir seluruh pranata sosial.
Implementasi peraturan mengikat ini salah satunya tercermin dalam qanun-qanun yang disepakati sebagai aturan administrasi pemerintahan. Representasi yang kerap diolah media massa ialah penerapan hukum cambuk di tengah kerumuman. Pro-kontra muncul sebagai bentuk paling logis dari sebuah konvensi.
Beberapa suara menuduh qanun ini terlalu kolot untuk diterapkan dalam masyarakat abad 21. Hukuman ini juga sekadar menyasar grassroot dan sering tak bergigi di hadapan keluarga pejabat. Sejumlah LSM menilai qanun Aceh punya potensi diskriminasi terhadap perempuan. Tuduhan ini mendapat perlawanan sengit dari otoritas pemerintahan di Tanah Rencong.
Bentangan narasi di atas menjadi bukti betapa hukum syariat yang diterapkan dalam dinamika masyarakat Aceh ternyata masih cacat pada beberapa bagian. Sebagai sekrup kecil dari mesin bernama NKRI, Aceh juga dihadapkan pada banyak kerikil demi menerapkan satu bentuk sistem norma.
Sampai di sini kita bisa berhenti untuk merenungi sebuah simpulan sederhana: hukum qanun di Aceh merupakan bukti kegagalan dan abnormalitas cita-cita negara dengan syariat Islam sebagai ideologinya.
Impresionitas saya terhadap reaksi Denny JA dalam opini berjudul “NKRI Bersyariah ATAU Ruang Publik Yang Manusiawi?” tidak lepas dari sebuah kekhawatiran. Respons tersebut rentan tergelincir menjadi sebuah propaganda. Kondisi yang justru menguntungkan Rizieq yang doyan menawarkan konsep tak terukur demi mensubstitusi pancasila.
Denny tidak perlu menghabiskan waktu memberi panggung kepada Rizieq lengkap dengan segala keyakinan tanpa dasarnya. Tak perlu sampai harus jauh menyajikan data yang disarikan dari hasil riset Yayasan Islamic Index atau SDSN sebagai underbow dari organisasi dunia, PBB.
Rizieq bisa besar kepala.
Pendiri LSI itu bisa memulianya dengan mendedahkan hal yang paling dekat, katakanlah seperti yang saya perikan dalam wacana ini. Ini demi mengimbangi level pasar yang disasar Rizieq, lapisan terbawah dalam sebuah sistem masyarakat. Mereka yang tercukupi oleh asupan informasi tervalidasi dan terbiasa dengan pemerolehan fakta berbasis data tersistematisasi tidak mudah goyah oleh kemampuan retoris Rizieq yang gagap bukti statistik dan sering cacat nalar.
Berbicara tentang situasi negara yang turut bertanggung jawab atas suburnya tipikal masyarakat yang sejalan-sepemikiran Rizieq menjadi lebih krusial, alih-alih mempermasalahkan siapa lelaki yang bahkan tidak punya peran dalam kontestasi negara itu. Ia yang bukan nasionalis. Bukan cendekiawan muslim.
Ia bisa kita dudukkan sebagai satu dari sehimpun orang yang kecewa terhadap peta perpolitikan dan pengambilan kebijakan yang sering pincang. Agresifitas Rizieq bisa bersumber dari kegamangannya mendapati kenyataan betapa sistem produksi cenderung dimonopoli sekelompok orang yang memegang kuasa karena ketersediaan modal untuk menyetir suara rakyat.
Munculnya tren ketua partai politik yang akhir-akhir ini berasal dari pemegang dana, oleh Ignas Kleden dinilai sebagai gejala lahirnya oligarki politik di Indonesia. Kekuatan sumber daya material menjadi sumbu bagi api pencapaian puncak kepemimpinan tertinggi sebuah partai politik. Setidaknya demikian yang disinggung Jeffrey A. Winters dalam Oligarchy, 2011.
Tuhan-tuhan kecil lahir dan menyusu dari perempuan renta bernama rakyat.
Negara bertanggung jawab membuat regulasi demi menangkal gurita oligarki. Hukum harus dikembalikan kepada perannya dengan penerapan seadil-adilnya. Para patron oligark tidak boleh kebal hukum karena counter dari partisan yang sering bertingkah tanpa nurani.
Relasi yang ajek antara kaum intelektual dan pemegang kekuasaan juga sebaiknya terus digalakkan. Penguasa membuka peluang bagi cerdik pandai membuktikan profesionalitasnya. Para ahli bisa lebih serius bergerak di ranah politik, praktis maupun teoretis, agar kemahiran tidak menjadi dengung di dinding-dinding laboratorium perguruan tinggi.
Terakhir, regulasi tentang skema partai yang sahih menerapkan sistem demokrasi. Iuran bisa saja berasal dari para simpatisan, agar tidak ada yang berubah nabi, menjelma hamba. Kita tidak akan membiarkan negara terperangkap kembali ke dalam penjara gelap oligarki Orde Baru yang mengerikan.
Sikap gelap Rizieq yang berambisi menyulih pancasila dengan khilafah atau tauhid sekaligus meruntuhkan bangunan demokrasi, tentu celaka. Namun, dosa-dosanya tidak seluas apa yang telah negara lakukan terhadap rakyatnya.
Jika demikian, siapa yang lebih bermasalah? Rizieq atau negara?
*Penulis adalah Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Halu Oleo
Astaghfirullah..begitu dangkalnya sosok akademisi yg justru anti terhadap ajaran agamanya sendiri.
ReplyDeleteEntah bagian mana dalan tulisan itu yg menyajikan kebencian terhadap ajaran agama Islam
DeleteEntah bagian mana dalam tulisan itu yg menyajikan kebencian terhadap ajaran agama Islam.
ReplyDelete