Riuh di Negeri Seribu Gua, Konflik Itu Pecah

Pembakaran rumah warga di Desa Wadiabero. Foto : Istimewa

Masi pagi-pagi sekali, Wasthaap saya suda dipenuhi pesan percakapan dari grup-grup. Ada seribu pesan lebih yang masuk, sementara saya baru saja selesai mandi. Ini tak seperti biasanya.

Benar saja, beberapa teman di wasthaap grup tengah asyik membahas bentrokan dua kelompok pemuda yang terjadi sejak malam. Saya membuka percakapan. Ini tak main-main, di grup itu salah satu teman menginfokan, ada korban jiwa akibat konflik itu. Di grup sebelah teman juga menginfokan hal yang sama, hanya teman itu lebih detail lagi dengan menyertai gampar puluhan rumah yang terbakar.



Di gambar itu, asap masi mengepul pada puing-puing reruntuhan rumah sisa kebaran. Kabarnya ada 25 rumah yang hangus disana. Sementara luka kita belum terlalu kering, masi hangat diingatan kita kejadian beberapa bulan lalu di Desa Sampuabalo Kabupaten Buton. Kali ini di daerah sendiri, di Desa Wadiabero Kabupaten Buton, Ini  persis. Ada apa dengan kemanusian kita? Ada apa dengan persatuan kita? Kemana nila-nilai luhur kita?

Para pejabat kabarnya suda menuju  ke lokasi, Kapolda juga tengah mengudara menuju lokasi kejadian. Tak mau ketinggala, saya mulai mengaspal. Di TKP Kapolda bersama para pejabat setempat mulai mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dari kedua wilayah yang bertikai itu. Tak ada ngotot, semua bersepakat untuk mejaga kondusifitas, kepolisian juga tengah berjaga-jaga.

Pada sejumlah awak media, Kapolda mulai merilis kronologis kejadian. Alkohol yang menjadi pemicu utama. Sejumlah anak muda yang tengah menikmati keramaian malam acara joget harus beradu jotos hanya karena kesalapahaman, di tengah kerumunan itu, seorang pemuda menghentamkan sebilau pisau, prak. Tepat mengenai tubuh korban.

Tak terimah, malam itu juga teman-teman korban mencari pelaku, menyerang membabi buta, 25 rumah ludes terbakar, 1 bengkel hangus dan satu buah ruko terbakar, warga desa yang tak berdosa berlarian, ada yang meloncat ke laut, ada juga mengamankan diri di hutan mencari perlindungan. Sykurlah tidak ada korban jiwa dalam pembakaran itu.



Ada 278 jiwa harus mengungsi. Isap tangis mereka masi membekas, mata dan pipi mereka masi basah. Raut wajah mereka kebingungan, hawatir dan masi diselimuti rasa takut. Di hadapan mereka pejabat daerah mencoba menenangkan keadaan, berjanji akan membangun kembali rumah-rumah mereka yang suda menjadi arang itu.

Sementara di media sosial masi riuh pembahasan. Ada yang menyoal pernyataan dari pejabat itu. Tak sedikit juga yang menaruh simpatik atas kejadian itu. Di grup sebela, ada yang tengah sibuk menyebar himbauan, seolah-olah konflik itu akan menyebar di daerah tetangga dan menyarankan orang-orang yang berasal dari Desa itu untuk tidak keluar dari rumah.

Pesan itu seperti teror, menakut-nakuti, membuat was-was dan saling mencurigai. Sementara asap masi mengepul, setetes bensin saja kita lemparkan kesana, tumpukan api itu akan meledak. Bukan kha di tengah situasi seperti ini akan lebih baik kita beramai-ramai mengambil air lalu menyirami api amarah yang tersulut. Dan mungkin diam akan lebih bijak ketimbang menyalakan siapapun pada situasi ini. 



Semoga kita masi dalam rasio kemanusian kita, menahan emosi dan saling menjaga. Semoga ini menjadi pembelajaran yang berarti, bahwa konflik tak akan menghasilka peradaban yang baik melainkan menghancurkan peradaban lalu menyusunnya kembali, entah berapa lama memakan waktu hingga pulih seperti sedia kalah.


0 Response to "Riuh di Negeri Seribu Gua, Konflik Itu Pecah"

Post a Comment