Menolak Lupa, Mengambil Hikma Dari Remaja Yang Tak Sekolah

Bersama teman saat Remaja (Azman) di Taman Pantai Gubahi.

MUNGKIN orang-orang yang mengenal kami berdua tahu kalau memang kita bersama-sama sejak dulu. Sekalipun setelah itu hampir lama tak ketemu, sibuk di dunia masing-masing. Ia keluar merantau untuk bekerja, sementara saya merantau mencoba mencari peruntukan di dunia pendidikan.

Kesibukan kami memang telah berbeda, tidak seperti dulu, yang dimana sebagian orang menganggap tidak lebih dari remaja nakal, kurang kerjaan, atau mungkin lebih dari itu, perusu.

Orang-orang yang mengenalnya mungkin biasa saja, hanya seorang Doubtful Man, tapi saya tidak pernah lupa, Dia adalah salah satu teman remaja yang telah banyak mempengaruhi dan membentuk karakter saya. Karakter yang anda kenal saat ini.

Terlepas dari kelurga, merekalah yang memberi saya banyak motivasi hingga berada pada pencapaian saat ini. Bukan soal melulu indahnya kata-kata bijak, tapi pengalaman-pengalaman ketika remaja bersama mereka yang telah banyak memotivasi saya.

Ingatan saya kembali pada bebera tahun silam. Saya masi ingat betul, saat dimana remaja yang tak berpendidikan selalu menjadi sasaran tuduhan kerusakan atau kehilangan di desa. Mereka yang tak berpendidikan dianggap sebagai penyebab masalah. Sementara mereka yang berpedidikan tak sedikit pun akan dicurigai sebagai perusak atau sebutan apapun itu.

Hingga ada satu kejadian yang buat saya benar-benar muak dengan semua itu. Padahal bole dikata saat itu saya masi merupakan salah satu siswa (SMP) yang diistimewakan di kelas. Ya, tahu sendiri, orang-orang yang memperoleh juara 1, 2, 3, dan 4 akan selalu memperoleh penilaian ples di mata guru-guru. Saya ada diantara itu, sekalipun tidak pernah merasakan juara 1. Hehehe

Karena kajadian itu, pembakaran bebera fasilitas di sekolah, saya harus terlibat cekcok dengan kepala sekolah. Teman ini dicurigai melakukan perusakan itu. Mereka dituduh hanya karena di hari yang sama dengan kejadian itu ada orang yang melihat mereka lewat di sekolah.

Keseharian saya yang diketahui berteman dengan mereka, saya dipanggil di ruang kepala sekolah, menyuruh saya untuk memperingatkan teman-teman yang telah dituduh sebagai pelaku perusakan itu.

Mendengar itu saya tidak benar-benar terima, saya membanta mati-matian. Saya tahu persis mereka tidak akan sampai sekelewatan itu. Mereka memang remaja yang putus sekolah atau bahkan tidak sama sekali merasakan padatnya duduk di bangku sekolah. Tapi mereka remaja yang cukup mendengarkan, remaja yang tak selalu seperti penampilannya, amburadul. Tapi mereka orang-orang yang menghargai orang lain, mereka remaja yang tak memilih kesenangan di atas kesusahan orang lain.

Mereka hanya remaja minoritas yang memilih jalannya sendiri, enggan bersekolah. Ada banyak faktor yang mempengaruhi keputusan mereka, salah satunya budaya rantau yang saat itu tengah trend di desa. Kalau teman yang berada di foto ini karena dia memang tidak seperti orang kebanyakan, memiliki kekurangan.

Saat itu, jika di kompleks kami ada 50 orang anak-anak, mungkin hanya lima persennya yang bersekolah. Saya hidup dalam pergumulan itu.

Oh, iya. Soal siapa pelaku pembakaran itu, saya yakin ketika dia membaca tulisan ini akan cenge-ngesan sendiri. Pelakunya masi merupakan teman saya, siswa di sekolah itu. Hanya sampai lulus sekolah, jarang yang mengetahuinya, mungkin hanya saya. Terus kenapa tidak dilaporkan? Ya, ini soal pertemanan. Saya hanya benar-benar tidak terima teman-teman saya itu yang menjadi sasaran tuduhan hanya karena dianggap tidak manusia lantaran tak berpendidikan.

Sejauh ingatanku, itu hanya salah satu kejadian dan tuduhan yang mereka peroleh. Stereotip itu melekat dalam-dalam di ingatan kolektif orang-orang di Desa kala itu. Mereka yang tak berpendidikan dianggap tidak akan benar-benar menjadi manusia seutuhnya sebagaimana moto pendidikan, memanusiakan manusia. Mereka sering kali menjadi sasaran tuduhan, diolok, bahkan dipojokan.

Keseharian saya yang bergaul di dua tempat berbeda. Pagi hingga siang di sekolah, siang hingga pagi bersama mereka. Saya melihat realitas yang berbeda. Kitalah yang tidak memanusiakan mereka, mungkin kita terlalu memojokan mereka lantaran status kita sebagai orang terpelajar.

Kenakalan itu tidak bisa dipungkiri, tapi sependek ingatanku, itu semua masi dalam kewajaran sebagaimana kekonyolan yang dilakukan remaja kebanyakan. Soal status kemanusiaan saya tidak pernah bersepakat jika dilihat dari status pendidikannya, coba cek para koruptor!

Dari mereka saya banyak mengambil hikma. Mengerti arti kesetia kawanan, kejujuran, kepercayaan dan menghargai orang lain. Dari mereka juga lah saya memperoleh semangat untuk terus menempuh pendidikan. Bukan soal takut jadi seperti mereka, dipojokan atau direndahkan. Tapi setidak-tidaknya saya bisa berada di tengah-tengah mereka. 

0 Response to "Menolak Lupa, Mengambil Hikma Dari Remaja Yang Tak Sekolah"

Post a Comment