Hijab vekto. Sumber : test.blog.birthdaytoday.pw |
Di satu kedai kopi,
saya bertemu beberapa orang teman laki-laki. Mereka adalah teman yang selalu
gemar bercerita apa saja, dari soal pekerjaan, kabar seorang publik figur yang
lagi viral, politik, soal kampus, sampai soal-soal perempuan. Ya, lelaki jomblo
akan selalu keasyikan dan tertarik untuk membahas sekelumit perempuan.
Biasanya cerita soal perempuan
akan selalu diselipkan dibagian akhir pemabahasan, ketika topik-topik utama
selesai dibahas. Beragam, dari kekaguman jomblo pada seorang perempuan,
menceritakan perasaan yang tengah jatuh cinta pada seorang perempuan, sampai membanding-bandingkan perempaun yang mereka
kenali.
Soal Perempuan, di
kedai kopi itu seorang teman menceritakan kekagumannya pada seorang perempuan. Seorang
yang diceritakan teman ini selain cantik, juga aktif di forum-forum diskusi di
salah satu ormas Islam, ia juga sopan. Wanita itu juga seorang hijabers, lumayan besar
hijabnya, dan mungkin itu yang menamba kekaguman teman ini.
Saya mengenal wanita
yang dimaksud teman ini, begitu juga tiga orang teman lainnya-jumlah kami
berempat. Semua sepakat kalau wanita yang satu ini benar-benar ideal. Tapi
tidak dengan teman yang satu, teman itu memang tak berkata-kata. Ia menunjukan
ekpresi lain, hanya tersenyum menanggapi pendapat teman-teman itu.
Mendapati ekspresi
teman itu, saya mencoba menyelidik mencari tahu, meraba-raba apa yang sedang
ada dalam pikiran teman itu. Benar saja, ketika semua teman-teman bergegas
pamit, teman itu menunjukan handphone androidnya. Saya shok, teman itu
menunjukan percakapannya dengan wanita yang baru saja dinobatkan sebagai salah
satu perempuan ideal.
Baca Juga : Demonstran Kepincut Aksi Nikita Mirzani
Masi dengan perasaan tak percaya, saya
mengambil handphone teman itu, memperjelas sendiri obrolan mereka dipesan chat
itu. Terpampang jelas foto wanita itu di profilnya, tetap cantik dan mempesona dengan
balutan hijabnya yang menutupi sebagian besar tubuhnya.
Percakapan mereka benar-benar
intim, seperti pasangan “Pasutri” yang tengah melewati bulan madu. Masi dalam
keadaan sedikit tak percaya, teman itu menunjukan foto-foto mereka saat tengah berdua.
Ini benar-benar diluar nalar saya, mereka begitu mesra bak Pasutri yang tengah
menikmati bulan madu dalam balutan yang penuh cinta.
Melihat itu, kepala
saya dipernuhi pertanyaan. Bagaimana mungkin wanita itu bisa bersama teman ini,
bukan soal tampang teman itu yang tidak sepadan dengannya. Setahu saya wanita
itu mengetahui kalau teman ini suda punya kekasih dan mereka bahagia selama
ini.
Teman itu menarik
Handponenya dari tangan saya. Pada saya, teman itu berbisik, “Kamu tahu kan
perempuan itu rapuh, mereka ditakdirkan lebih besar menggunakan hatinya dalam menyikapi
sesuatu, sementara laki-laki, kebalikan dari mereka. Kita lebih besar
menggunakan logika ketimbang perasaan,” teman itu tersenyum dan lalu pergi
meninggalkan meja di kedai itu.
Teman itu tahu kalau saya bukanlah tipikal orang yang suka bercerita tentang privasi orang lain. Begitu juga dalam tulisan ini, ini bukan tentang teman itu seutuhnya. Saya hanya ingin menuliskan pada anda yang sedang membaca
tulisan ini, kalau tidak semua hal yang kita kagumi sesuai dengan yang kita
citrakan tentang itu.
Dari teman itu saya
dapati kenyataan, bahwa fashion bukanlah satu-satunya untuk mengukur keimanan seseorang, keseharian
yang setiap harinya kita saksikan tidak benar-benar menjawab dugaan kita, ada
banyak jawaban di tempat-tempat yang hilang. Sebesar apapun hijab yang
dikenakan, jika belum selesai dengan diri sendiri dengan mudah terbius dalam
perasaan nyaman untuk diri sendiri tanpa peduli orang lain.
Soal bisikan teman itu,
saya jadi teringat dengan ungkapan Murtadha Muthahhari dalam buku “Filsafat
Perempuan Dalam Islam” yang diterbitkan Rausyanfikir Institute di tahun 2012
lalu. Yang menampung pemikiran Muthahhari dalam mengkaji hak perempuan dan
relevansi etika sosial dari sudut pandang filsafat Islam.
Dalam buku itu, Muthahhari
menyebutkan Laki-laki adalah hamba nafsunya, sedangkan perempuan adalah tawanan
perasaan kasih sayangnya sendiri. Muthahhari memandang masalah ini, tidak ada
kaitannya sama sekali dengan kurangnya perkembangan intelektual atau mental,
melainkan berkaitan dengan sebuah aspek psikologi laki-laki dan perempuan.
Muthahhari menyebut hal
tersebut berkaitan secara khusus dengan sisi predatori (ganas) watak laki-laki,
disatu pihak, kepercayaan perempuan kepada loyalitas dan ketulusan laki-laki. Perempuan
lebih sabar dan tabah dalam mengendalikan hawa nafsunya. Namun demikian, yang
membuat tidak seimbangnnya perempuan dan memperbudak perempuan adalah suara
indah kasih sayang, ketulusan, kesetiaan, dan cinta dari laki-laki.
Disinilah, kata Muthahhari,
perempuan menaruh kepercayaan. Seorang perempuan, sepanjang dia masih perawan
dan belum pernah berhubungan langsung dengan laki-laki, sangat cepat percaya
bisikan lembut kasih sayang laki-laki. Kata yang demikian itu, perempuan selalu
bergetar jiwanya mendengarnya dan membuatnya tidak tenang. Sementara laki-laki
yang ganas selalu memanfaatkan sensabilitas perempuan.
Tingkatan pendidikan,
usia, dan fashion bukan citra kedewaasaan seseorang, bukan pula tolak ukur keimanan
seorang perempuan. Melainkan kematangan irasionalnya, kematangan jiwa,
intelektual dan religius yang mampu membuatnya terhindar dari sifat yang
sedemikian kebablasan.
Seorang Ustat yang
gemar mendidik anak-anak di usiah dini, dalam tulisannya mengatakan hal
demikian dapat dihindari dengan mengenali diri sendiri, orang-orang sekitar
termasuk perempuan mengenali laki-laki dan laki-laki mengenali perempuan.
“Biarkan fitrah iman
itu tumbuh, dengan ilmu mengenali diri
sendiri, dengan ilmu kita akan mengenali orang-orang dan kompleksnya alam
semesta,” tutur Ustad dalam tulisannya.
Baca Juga : Cinta, Antara Cita-Cita dan Ibadah
0 Response to "Hijaber Yang Kebablasan"
Post a Comment