Suap. Sumber : rojnameyanewroz2.com |
Publik Buton Tengah geger adanya sejumlah
oknum yang berani melakukan penipuan dengan memalsukan tanda tangan pejabat
kepala daerah di Kabupaten Buton Tengah (Buteng) untuk meminta sejumlah uang
dengan dalih sebagai fee proyek pekerjaan di daerah itu.
Dalam melancarkan aksi
tipuannya, para oknum ini menjanjikan kepada para korban berupa proyek. Untuk
meyakinkan para korbannya, saat berdialog dengan korban melalui aplikasi pesan
Wasthapp, pelaku mengunakan foto orang nomor satu di Buteng itu.
Alhasil, dari aksi yang
dilakukannya, oknum yang turut melibatkan beberapa orang ini berhasil
mengumpulkan uang sebesar Rp. 559.500.000, dengan jumlah korban 14 orang
penyetor dengan besaran yang berfariasi.
Di upacara gabungan yang dilaksanakan oleh
Pemda Buteng. Bupati Buteng merinci 14 orang yang menjadi korban dari penipuan
tersebut, beragam latar belakang. Masyarakat biasa, ada juga nama-nama pejabat
publik dan perangkat Desa di daftar korban itu.
Mungkin ini benar murni
penipuan, jika demikian maka pelaku suda
semestinya dijerat, hukum oknum pemalsu tandangan. Selesai? Tidak, saya tidak
membahas soal hukum yang akan diganjarkan pada pelaku, soal itu biarlah penegak
hukum bekerja sebagaimana mestinya.
Dari kasus ini, saya ingin
mengajak sekalian melihat dari sudut pandang yang berbeda. Sudut padang yang
sebenarnya telah lama kita ketahui, begitu juga para korban penipuan ini.
Baca Juga : Interupsi Seorang Pejabat
Pada milenium ketiga, kehidupan manusia mulai memasuki peradaban yang dewasa. Dimana batas-batas atau sekat jarak telah hilang terkikis teknologi informasi yang semakin maju seiring dengan berjalannya waktu. Dimana semua orang dapat mengetahui bahwa penyogokan (pemberian fee) untuk mendapatkan pekerjaan (proyek) adalah sebuah tindakan korup yang tidak pernah dibenarkan secara hukum.
Penyebaran informasi
yang cepat dan tanpa henti soal kasus-kasus pejabat yang korup di media massa,
24 jam dalam seminggu tak henti-hentinya disugukan. Belum lagi beberapa waktu
lalu di Buteng sendiri sempat dihebokan terkait fee proyek yang melibatkan
salah satu kepala desa di “Negeri Seribu Gua” itu.
Entah apa yang merasuki
para pejabat di desa ini sehingga dengan mudahnya diiming-imingi pekerjan
proyek. Tidak cukupkah gaji mereka setiap triwulannya untuk kebutuhan primer
keluarga?
Soal ini saya jadi
teringat dengan buku karya Yasraf Amir Piliang yang berjudul Dunia Yang Dilipat : Tamasya Melampaui
Batas-Batas Kebudayaan. Dalam buku itu memaparkan kehidupan masyarakat
kontemporer yang penuh permainan tanda yang memunculkan keterpesonaan dan
kemabukan.
Dalam buku itu Piliang
menggambarkan bagaimana kebudayaan kontemporer banyak menawarkan suatu hal yang
kaya akan simbol dan tanda yang membuat masyarakat berlomba untuk
mendapatkannya. Padahal, tanda dan simbol tersebut tak masuk dalam klasifikasi
kebutuhan primer dalam kehidupannya.
Masyarakat kontemporer
memaksakan diri untuk mendapatkan citra kepercayaan dari masyarakat lainya
dengan memiliki barang-barang tertentu yang menjadi simbol kemewahan yang
sebenarnya tidak berperan secara
esensial dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
Tah hanya itu, dalam
buku itu juga menyebut masyarakat kontemporer mulai kehilangan rasionalitasnya.
Dimana segala cara dilakukan untuk memenuhi hasrat untuk memperbaiki citra di
depan masyarakat.
Bahkan, kini layaknya
organisme hidup. Panorama kebudayaan yang kita saksikan seakan-seakan seperti
tubuh tanpa organ, atau setidak-tidaknya tubuh yang mengalami kekacauan
organisme. Inilah organisme kebudayaan yang di dalamnya organ kepala telah
berubah menjadi dengkul, kini orang lebih banyak terlebih dahulu bertindak
ketimbang berpikir. Organ mulut telah mengambil hati, sehingga organ kini lebih
gandrung melepaskan hasrat ketimbang mengasah hati.
Organ perut telah menyatu
dengan otak sehingga kini kepuasan biologis telah menumpulkan otak, organ
telinga kini telah terjajah oleh organ mulut, sehingga orang-orang lebih
berbicara ketimbang mendengarkan.
Mungkin demikian
gambaran para pejabat publik di desa, dalam statusnyaa menjadi korban penipuan, dan jika mengacu pada pandangan Piliang, ini sekaligus
korban hasrat mereka sendiri untuk memperoleh citra dari masyarakat dengan
simbol-simbol kemewahan yang dibayangkannya, sehingga citra ideal seorang
pejabat publik diabaikan, dan alhasil presenden buruk akan disematkan disana.
Dengan kejadian ini, mosi tidak percaya terhadap para pejabat yang saat ini berstatus sebagai korban,
bukan tidak mungkin muncul di tengah-tengah masyarakat yang dipimpinnya. Sederhananya,
pekerjaan di luar kendalinya suda dicoba untuk dikompromikan, bagaimana dengan pekerjaan
yang berada dalam genggamannya? Selakan menilai!
0 Response to "Pemalsuan Tandatangan Bupati Buteng, Citra Pejabat Korup Yang Membudaya"
Post a Comment